
KEBIJAKAN NEOLIBERAL LIMA PRESIDEN INDONESIA
Penulis: Epung Saepudin
Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Indonesia pasca Soeharto sampai SBY, semuanya merupakan strategi yang mengorbankan kelompok masyarakat yang lebih luas demi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang lebih kecil tapi menguasai perekonomian Indonesia
(Epung Saepudin, Media Transformasi, Mei 2008)
(Epung Saepudin, Media Transformasi, Mei 2008)
Sudah lima presiden memimpin Indonesia. Tidak satu pun yang mampu mengantarkan negeri ini untuk makin bermartabat baik secara ekonomi maupun politik. Setiap presiden yang memimpin Indonesia, dalam pandangan penulis buku, selalu saja tunduk pada mekanisme Washington Konsensus yang dikomandoi IMF yang berwatak neoliberal Akibatnya setiap kebijakan selalumeminggirkan masyarakat yang justru telah memilihnya. Inilah potret sesungguhnya dari karakter Presiden di Indonesia terutama Soeharto yang telah memimpin In donesia selama 32 tahun lamanya.
Reformasi memang berhasil memaksa Soeharto lengser, tapi tidak semua masalah langsung bisa dibereskan. Sebagian besar masalah yang sifatnya fundamental justru tidak tersentuh reformasi. Seperti menyusun tata ekonomi baru pasca Soeharto yang kental kepentingan asing. Salah satunya sebabnya adalah hilangnya kesempatan mereformasi sistem ekonomi dengan kreatifitas sendiri. Karena terlalu menggebu ingin mengganti rezim refresif, kurang akuratnya diagnosis kaum reformis dan belum terstrukturnya konsep konsep perbaikan, pemerintah Indonesia waktu itu lebih dulu membeli resep dari mentornya yang lama IMF. Inilah kekalahan awal kaum reformis. IMF kembali lagi digunakan di awal awal reformasi.
Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi di Indonesia sesungguhnya tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Lihat saja, proses pemilu maupun pilkada sangat diwarnai dan didominasi oleh politik uang. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, akan timbul banyak pertanyaan tentang apakah demokrasi ada manfaatnya untuk rakyat kebanyakan. Dalam kondisi dominasi pragmatisme dan politik uang yang begitu terasa, Indonesia sangat mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang semakin mengecilkan peranan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Negara hanya memperjuangkan kepentingan elit. Sementara rakyat dilepaskan kepada belas kasihan mekanisme pasar. Misalnya, berbagai subsidi di dalam bidang pendidikan dan kesehatan dihapuskan tanpa melihat perbedaan kemampuan ekonomis dari masyarakat. Padahal, di negara kapitalistik sekalipun, seperti di Eropa, tetap ada subsidi maupun bantuan keuangan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley nyaris 40 tahun di Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia. Penulis menunjukan bahwa penyebab situasi tersebut dikarenakan kebijakan Orde Baru dalam bidang ekonomi Indonesia terutama didukung oleh eksploitasi sumber daya alam (minyak bumi hutan) serta peningkatan pinjaman luar negeri. Kegagalan itu juga terjadi karena strategi dan kebijakan ekonomi politik akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi alias kepenjangan tangan dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraanya dengan mengikuti model Washington Konsensus yang digawangi IMF. Situasi tersebut juga diperparah dengan tidak adanya perubahan dalam arah kepemimpinan nasional ditingkatan Presiden. Semua presiden yang ada masih tunduk pada kepentingan kepentingan pasar yang bercorak neoliberal.
Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Indonesia pasca Soeharto sampai SBY, semuanya merupakan strategi yang mengorbankan kelompok masyarakat yang lebih luas demi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang lebih kecil tapi menguasai perekonomian Indonesia. Berbagai kebijakaan memang terdengar asing bagi masyarakat awam, namun merekalah yang paling terkena imbasnya dengan pemotongan tingkat kesejahteraan orang miskin melalui pengurangan subsidi, pengurangan nilai upah nil, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, dan penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan buruh. Sementara untuk kelompok yang lebih kecil tersebut, kita dapati pemerintah membayari hutang mereka, bahkan sampai pada tahap penghapusan hutang dan pengampunan hutang, masih ditambah lagi adanya pemberian fasilitas pemotongan pajak dan tax holiday. Sebuah ketidakadilan diperlihatkan secara nyata oleh pemerintah.
Reformasi memang berhasil memaksa Soeharto lengser, tapi tidak semua masalah langsung bisa dibereskan. Sebagian besar masalah yang sifatnya fundamental justru tidak tersentuh reformasi. Seperti menyusun tata ekonomi baru pasca Soeharto yang kental kepentingan asing. Salah satunya sebabnya adalah hilangnya kesempatan mereformasi sistem ekonomi dengan kreatifitas sendiri. Karena terlalu menggebu ingin mengganti rezim refresif, kurang akuratnya diagnosis kaum reformis dan belum terstrukturnya konsep konsep perbaikan, pemerintah Indonesia waktu itu lebih dulu membeli resep dari mentornya yang lama IMF. Inilah kekalahan awal kaum reformis. IMF kembali lagi digunakan di awal awal reformasi.
Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi di Indonesia sesungguhnya tidak membawa manfaat yang besar pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Lihat saja, proses pemilu maupun pilkada sangat diwarnai dan didominasi oleh politik uang. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, akan timbul banyak pertanyaan tentang apakah demokrasi ada manfaatnya untuk rakyat kebanyakan. Dalam kondisi dominasi pragmatisme dan politik uang yang begitu terasa, Indonesia sangat mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang semakin mengecilkan peranan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Negara hanya memperjuangkan kepentingan elit. Sementara rakyat dilepaskan kepada belas kasihan mekanisme pasar. Misalnya, berbagai subsidi di dalam bidang pendidikan dan kesehatan dihapuskan tanpa melihat perbedaan kemampuan ekonomis dari masyarakat. Padahal, di negara kapitalistik sekalipun, seperti di Eropa, tetap ada subsidi maupun bantuan keuangan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley nyaris 40 tahun di Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia. Penulis menunjukan bahwa penyebab situasi tersebut dikarenakan kebijakan Orde Baru dalam bidang ekonomi Indonesia terutama didukung oleh eksploitasi sumber daya alam (minyak bumi hutan) serta peningkatan pinjaman luar negeri. Kegagalan itu juga terjadi karena strategi dan kebijakan ekonomi politik akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi alias kepenjangan tangan dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraanya dengan mengikuti model Washington Konsensus yang digawangi IMF. Situasi tersebut juga diperparah dengan tidak adanya perubahan dalam arah kepemimpinan nasional ditingkatan Presiden. Semua presiden yang ada masih tunduk pada kepentingan kepentingan pasar yang bercorak neoliberal.
Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Indonesia pasca Soeharto sampai SBY, semuanya merupakan strategi yang mengorbankan kelompok masyarakat yang lebih luas demi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang lebih kecil tapi menguasai perekonomian Indonesia. Berbagai kebijakaan memang terdengar asing bagi masyarakat awam, namun merekalah yang paling terkena imbasnya dengan pemotongan tingkat kesejahteraan orang miskin melalui pengurangan subsidi, pengurangan nilai upah nil, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, dan penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan buruh. Sementara untuk kelompok yang lebih kecil tersebut, kita dapati pemerintah membayari hutang mereka, bahkan sampai pada tahap penghapusan hutang dan pengampunan hutang, masih ditambah lagi adanya pemberian fasilitas pemotongan pajak dan tax holiday. Sebuah ketidakadilan diperlihatkan secara nyata oleh pemerintah.
No comments:
Post a Comment