Tuesday, November 13, 2007

Korporasi AS di Balik Irak

Moh Samsul Arifin
Penulis Buku Perempuan Punya Pilihan

JUDUL: Blood Money
PENULIS: T Christian Miller
PENERJEMAH: Leinovar Bahfein
PENERBIT: Ufuk Press, Jakarta,
TEBAL: 459 halaman

"Serangkaian fakta yang diperoieh Miller dari reportase langsung, wawancara, dan data-data primer seperti termuat buku ini menelanjangi kredibilitas pemerintahan Bush".
(MediaIndonesia)

ANDREW Austin dalam The Bush Gang secara lantang menyebut alasan George Walker Bush meng-invasi Irak pada Maret 2003 adalah demi mengamankan pasokan minyak ke nege-rinya. Irak sangatlah strategis, seperti juga kawasan laut Kaspia—Azerbaijan, Kazakstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan— untuk memenuhi kebutuhan minyak Amerika Serikat yang mencapai 21 juta barel per hari. Austin mempertebal skeptisisme orang ramai bahwa emas hitam kerap menjadi penyebab utama pemerintahan Bush menurunkan pemerintah yang berkuasa di negara-negara yang dimusuhinya.

Blood Money karya T Christian Miller mi menyambung satu fakta yang kurang diungkap ke ruang publik. Yakni sisi buram dari proyek rekonstruksi Irak yang menelan miliaran dolar AS. Serangkaian fakta yang diperoleh Miller dari reportase langsung, wawancara, dan data-data pri­mer seperti termuat buku ini menelanjangi kredibilitas pemerintahan Bush sekaligus rekonstruksi tidak terencana, yang alih-alih membangun infrastruktur dan pra-sarana kehidupan rakyat Irak denganbaik, justru menyumbang bagi kekacauan yang terus bertahta hingga kini.

Proyek rekonstruksi Irak sebenarnya sudah dipikirkan pemerintahan Bush berbarengan dengan penggalangan dukungan politik di parlemen. Sebulan pasca-Kongres AS mengesahkan resolusi yang memberi mandat kepada Bush untuk mengerahkan pasukan ke Irak, Pentagon su­dah menganugerahkan kontrak pembangunan pertama kepada Kellog, Brown & Root (KBR), anakperusahaan Halliburton Company, pada 11 November 2002. KBR diminta merencanakan perbaikan industri minyak Irak pascaperang dengan total kontrak senilai US$1,9 juta.

Sampai sini, segalanya seperti di jalur yang benar. Tapi, saat perang meletus, rekonstruksi tidak terkontrol. Proses ten­der berkejaran dengan waktu. Sering kali megaproyek pengadaan persenjataan, pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana, hingga penyediaari akomodasi bagi pa­sukan koalisi yang bertugas di Irak jatuh pada perusahaan-perusahaan yang memiliki kedekatan dengan pemerintah.

Jurnalis Los Angeles Times ini bahkan menemukan ada perusahaan tidak berpengalaman dan asal sanggup mengumbar janji-janji palsu, ditunjuk Pemerintahan Koalisi Sementara (CPA) dan Kantor Re­konstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (ORHA)—kepanjangan tangan pemerin­tahan Bush—untuk menggarap proyek penting dan sensitif seperti jasa keamanan untuk melancarkan proses-rekonstruksi.

Kerakusan Halliburton

Menurut Miller, Halliburton termasuk yang paling ekspansif membidik rekon­struksi Irak. la masuk ke 'Negeri Seribu Satu Malam' tersebut diduga karena dekat dengan Wapres Dick Cheney. Maklum, Cheney pernah menjadi eksekutif utama Halliburton periode 1995-2000. Meski ti­dak ada bukti kuat Cheney terlibat, mengutip hasil investigasi Partai Demokrat, ujar Miller, itu tidak terlepas dari abainya pemerintah federal mengendalikan kontraktor utamanya di Irak tersebut. Tapi satu yang pasti, Hallibur­ton mengerjakan proyek militer Amerika sejak 1990-an, saat Cheney menjadi Menteri Pertahanan di masa Bush senior.

Dalam aksinya, Halli­burton kerap kali menggelembungkan tagihan kepada otoritas CPA, termasuk ketika ditunjuk untuk memasok minyak ke Irak, Mei 2003. Apabila Defense Energy Support Center (lembaga bahan bakar Penta­gon) mampu mengimpor bahan bakar keperluan militer senilai US$1,08 per galon. Ironisnya, Hallibur­ton justru meminta bayaran US$2,68 untuk setiap ga­lon miny ak yang didatangkannya (hlm 115).

Siapa saja yang berupaya mencegah kerakusan Hal­liburton harus menanggung risiko. Ini menimpa Bunnatine Greenhouse, staf senior urusan kontrak United State Army Corps of Engineers. Saat ia getol mengawasi tender proyek ke perusahaan itu, ia harus terpental dari jabatannya. Bahkan gajinya dipotong. Ini terjadi kala Greenhouse menentang keputusan Ar­my Corps menyerahkan sa­tu kontrak tanpa tender kepada Halliburton untuk memenuhi kebutuhan pasukan AS di negara-negara Balkan pada 2004.

Ada lagi perusahaan bau kencur yang mengais dolar di Irak dengan modal nekat. Itulah Custer Battlesyang didirikan jebolan angkatan bersenjata, Scott Custer dan Mike Battles. Dengan proposal 'fiktif, CPA 'dikelabui' untuk menyerahkan tugas super penting menjaga tempat vital, bandara Baghdad, senilaiUS$16,8 juta..

Perusahaan sejenis berkaliber internasional seperti DynCorp International dan Army Group International Ltd tidak berdaya. Dalam tempo 12 bulan, Custer Batt­les sukses mengapitalisasi aset dari hanya US$200 ribu menjadi US$100 juta!

Perusahaan ini juga pintar menggelembung biaya proyek. Jika sesuai kontrak dengan mereka hanya diperbolehkan mengambil laba 25%. Perusahaan ini justru menagih pemerintah dua kali lipat dari biaya sebenarnya. Truk senilai US$18 ribu didongkrak menjadi US$80 ribu. Total biaya proyek yang dikerjakan sebetulnya US$913 ribu, tapi Custer & Battles meminta bayaran ke pemerintah hingga US$2,1 juta.

Kendati praktik curang itu diketahui ORHA dan Custer & Battles didenda lebih dari US$10 juta oleh pengadilan Wa­shington, perusahaan ini tidak dicoret dari tender-tender rekonstrnksi di Irak. Masih banyak lagi hasil investigasi Miller yang mencoreng telak-telak kredibilitas proses rekonstruksi Irak.

Rakyat Irak korban

Ringkasnya, kecerobohan pemerintahan Bush dan kedekatan kontraktor dengan pentolan-pentolan pemerintah di Penta­gon dan Departemen Luar Negeri telah membikin proyek rekonstruksi tidak mu-lus. Apalagi mereka royal membagi proyek miliaran dolar. Sering kali jutaan dolar keluar begitu mudah di meja transaksi yang tidak transparan.

Kontraktor—yang mewakili kepentingan korporasi—memanfaatkannya untuk meraup untung berlipat. Miller kian membenarkan pengakuan John Perkins dalam Confussion of an Economic Hit Man bahwa tidak ada misi yang lebih penting diemban korporasi, kecuali dolar! Lewat buku ini, Miller menunjukkan bagaimana rakyat Irak jadi korban kepentingan korporasi tersebut.

Rakyat lrak yang butuh perbaikan hidup tidak diacuhkan. Malah dijadikan sebagai 'sandal jepit' untuk menumpuk dolar. Me­reka menjadi tamu di negeri sendiri! Akibatnya, pembangunan Irak terbengkalai. Irak baru—tempat demokrasi tegak, se­perti dijanjikan Bush—hanya pepesan kosong.

Jurnalisme investigasi yang digunakan peraih sejumlah penghargaan internasio-nal ini bisa dijadikan acuan bagi jurnalis di Tanah Air untuk mengungkap selubung misteri 'permainan uang' dalam rekon­struksi dan rehabilitasi Aceh. Ini penting sebab selepas jutaan dolar AS membanjiri Aceh, sedikit sekali media yang menga­wasi jalannya pembangunan di Serambi Mekkah tersebut. ***

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes