Oleh: Wawan Eko Yulianto
Category: Books
Genre: Nonfiction
Author: Chen Guidi dan Wu Chuntao
Label “Made in China” di berbagai produk yang kita beli telah menjadi penegas bahwa Cina adalah penguasa ekonomi dunia. Berbagai produk Cina mulai dari kendaraan bermotor hingga produk makanan ringan yang baru-baru ini ditarik dari peredaran karena dicurigai ‘kelebihan’ bahan pengawet pun gampang ditemui dimana-mana. James Kynge, jurnalis Financial Times, pernah membeberkan dalam bukunya Rahasia Sukses Ekonomi Cina bagaimana negara ini tumbuh dari Cina yang rawan kelaparan menjadi raksasa kuat dan lapar yang berpotensi menyantap habis jatah minyak AS dari Venezuela dan Iran. Tapi bersiap-siaplah untuk mengubah kekaguman Anda terhadap Cina setelah membaca China Undercover.
Cina masih menyandang sebutan ‘tirai bambu’. Apa-apa yang ada di Cina tetap belum jelas dari luar. Saking rapatnya tirai bambu itu, masih saja ada sejumlah provinsi yang masih terlarang bagi pihak luar. Salah satunya adalah Anhui, sebuah provinsi termiskin di dataran luas Cina. Adalah sepasang suami-istri Chen Guidi dan Wu Chuntau yang mempertaruhkan keselamatannya untuk menceritakan sejumlah cacat yang ditutupi tirai bambu Cina.
Dalam China Undercover yang baru-baru ini diterbitkan Ufuk Press, kita bisa melihat bahwa ada yang ditumbalkan di balik kegagahan Cina di pentas ekonomi dunia. Mereka adalah para petani yang ketimpa abu panas untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan negara akan pangan. Paradoks dengan bakti yang tak terkira itu, mereka mendapat perlakuan yang serba tidak mengenakkan dari kader-kader partai di tingkat lokal. Para petani dikenai berbagai rupa pajak yang sebenarnya adalah hasil akal-akalan para kepala desa korup beserta para perangkatnya.
Dalam investigasi yang dilakukannya di beberapa kabupaten provinsi Anhui, Chen dan Wu mendapati sejumlah kasus menyayat hati. Pada bab pertama, kita akan dibikin geram oleh kisah pembunuhan seorang warga cerdas yang menuntut diadakannya audit keuangan desa. Si warga cerdas bernama Ding Zuoming ini mengendus korupsi yang dilakukan kepala desa dan berhasil memojokkan kepala. Namun, sebelum menyetujui audit, kepala desa dengan bantuan tenaga keamanan kecamatan memberinya pelajaran yang kebablasan hingga dia pun menjadi martir demi kebenaran.
Pada bab selanjutnya, kita akan temui lagi kisah pembunuhan yang kali ini korbannya lebih dari satu orang, dan kejadiannya terjadi dalam hitungan menit! Empat orang warga yang telah ditunjuk para petani untuk mengaudit keuangan kepala desa korup—yang sebenarnya terjerat masalah hukum—dibunuh si kepala desa dan anak-anaknya. Warga yang geram pun akhirnya mendapat alasan untuk memenjarakan si kepala desa.
Kemudian, kita akan dibikin harap-harap cemas dengan kisah penangkapan besar-besaran warga desa oleh petugas keamanan kabupaten. Desa yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh pasukan keamanan yang berbondong-bondong dan menangkapi para warga yang keringatnya masih belum kering setelah bekerja sepagian di sawah. Dengan gaya penceritaan sekelas novel dalam alur mundur, Chen dan Wu pada bagian ini mengajak pembaca berharap-harap cemas mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik drama penangkapan besar-besaran ini. Dan kita pun akan lega sekaligus miris ketika tahu bahwa penyebabnya adalah karena aparat desa memfitnah para petani telah melecehkan aparat! Ya, kepala desa memfitnah rakyatnya sendiri dan mengakibatkan ditahannya hampir separuh warga desa.
Selain ketiga kisah, masih ada beberapa kisah lagi yang pasti membikin kita geram.
Kita pun akan kaget dan tersenyum kecut ketika tahu bagaimana para aparat desa itu menarik pajak dari petani. Petani yang hidup serba kekurangan itu ternyata memiliki beban pajak yang sangat banyak dan berliku-liku. Chen dan Wu menghabiskan tiga halaman sendiri (halaman 238-240) untuk mengurutkan jenis-jenis pajak yang harus dibayarkan para petani, mulai pajak yang bertedeng ‘pengumpulan dana’ hingga pajak yang dalihnya untuk ‘pelayanan sosial’. Tak cuma tiga halaman itu, masih ada dua setengah halaman lagi di mana Wu dan Chen menyebutkan jenis-jenis pungutan lain dalam paragraf-paragraf narasi. Berikut adalah salah dua contoh kalimat yang bisa mewakili bagaimana ‘pintarnya’ aparat menarik pajak: “Apabila [...] hendak memelihara seekor babi, maka [petani] harus membayar pajak ‘babi hidup,’ pajak pembunuhan babi, pajak ‘perolehan modal,’ pajak pendapatan dan PAJAK PEMELIHARAAN KECAMATAN. Di beberapa tempat, warga akan dikenakan pajak pemeliharaan babi, TAK PEDULI DIA MEMELIHARANYA ATAU TIDAK [CAPS LOCK dari saya]” (hal. 241).
* * *
Tak perlu didebat, keunggulan utama buku ini memang terletak pada keberaniannya menyingkap borok yang rapat terbebat tirai bambu. Sebuah provinsi yang saking miskinnya—serta menjadi aib bagi Cina—hingga tidak boleh dikunjungi pihak luar, kini akhirnya menjadi konsumsi publik karena keberanian Chen dan Wu. Tidak kecil masalah yang mereka tuai dari buku ini: edisi resminya dilarang beredar di Cina, salah satu bab yang membahas ‘kejahatan’ seorang pejabat di bab 4 membuat mereka dikenai tuduhan pencemaran nama baik dan dimejahijaukan, rumah mereka dilempari batu oleh orang-orang tak dikenal selama lebih dari duapuluh hari berturut-turut dan petugas keamanan tidak menghiraukan permintaan mereka untuk dilindungi, dan Chen Guidi diminta mengundurkan diri dari pekerjaan yang menjadi sandang-pangannya.
Namun, mereka tetap menang karena buku ini telah dibaca berjuta-juta orang. Memang tujuan Chen dan Wu adalah agar orang-orang tahu apa yang sebenarnya menimpa kaum petani. Sebulan pertama setelah diluncurkannya buku ini, 150.000 eksemplar terjual habis. Di Indonesia, angka ini mungkin baru pernah menjadi mimpi para pemilik penerbitan. Di Cina yang penduduknya lebih dari 1,2 milyar pun angka ini terbilang luar biasa. Dan setelah pelarangan, masih 10 juta eksemplar lagi edisi bajakannya yang terjual di pasaran.
Satu hal lain yang menjadikan China Undercover enak dilahap adalah gaya penyampaiannya yang sastrawi. Fakta-fakta itu disampaikan dengan permainan plot, deskripsi yang benar-benar mendekatkan kita dengan latar dan tokoh-tokoh cerita, serta rekonstruksi dialog-dialog yang semakin memudahkan pembaca membayangkan musibah yang menimpa para petani tersebut. Pramoedya Ananta Toer, dalam wawancara dengan Jurnal Prosa, pernah mengatakan bahwa dia menulis novel karena tidak ada yang mau membaca sejarah secara murni. Chen dan Wu mengisahkan kejadian-kejadian itu dengan plot dan deskripsi selayak novel, kecuali sebagian besar bab 5 yang lebih bersifat analitis. Dan banyak yang tertarik dengan penyampaian seperti itu. Kiranya, inilah yang membuat mereka memenangkan penghargaan Lettre Ulysses Award untuk Seni Reportase.
* * *
Setelah terbawa oleh pedihnya hidup para petani Cina kita pasti akan berpikir dua tiga kali lagi sebelum menyebut Cina sebagai negara yang besar. Dan dari provinsi Anhui, yang diketahui masyarakat internasional sebagai simbol kemajuan Cina karena menjadi tempat perakitan dan peluncuran roket angkasa “Made in Cina”, kita akan tiba pada kesimpulan getir: bahwa kesuksesan di kancah (ekonomi) internasional tidaklah selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat negara yang bersangkutan.
Data Buku:
Judul : China Undercover: “Rahasia” di Balik Kemajuan Cina
Penulis : Chen Guidi dan Wu Chuntao
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan : I, September 2007
Tebal : xxvi + 362 halaman
ISBN : 979-1238-51-9
No comments:
Post a Comment