Tuesday, November 13, 2007

Kiprah Berdarah Geng Bisnis di Irak

Muhamad Yuanda Zara
Mahasiswa Ilmu Sejarah UGM, Yogyakarta

JUDUL: Blood Money
PENULIS: T Christian Miller P.

PENERJEMAH: Leinovar Bahfein
PENERBIT: Ufuk Press, Jakarta
TEBAL: 459 halaman



"Kontrak ratusan milyar dolar untuk rekonstruksl Irak ternyata banyak bolongnya. Miller mengungkap borok-borok yang ad di balik proyek-proyek itu".
(Gatra)


Ingat film Gangs of New York yang dibintangi Leonardo DiCaprio? Geng-geng jalanan di New York berebut kekuasaan pada awal kebangkitan kota itu. Mafia jalanan dilacak, tapi mereka punya kuasa tak terhingga. Intrik, adu taktik, dan saling tikam jadi hal biasa. Kisah kelam itu terwujud dalam dunia nyata. Kali ini jalanan yang diperebutkan adalah Irak, negeri dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Berbagai “geng”, yang terdiri dari isi Gedung Putih, pejabat, pensiunan militer, kontraktor, hingga calo senjata, tumpah ruah berebut proyek di “negeri 1001 malam" itu. Semua berjalan atas nama "rekonstruksi Irak"

Bagi Amerika Serikat, seperti diungkap Paul Wolfowitz, membangun Irak “target paling penting untuk menjadikan Amerika dan dunia sebagai tempat yang lebih baik". Maka, jelaslah mengapa Washingtion jorjoran mengucurkan dana. Tiga tahun setelah pendudukan, Amerika telah mengeluarkan lebih dari US$ 30 milyar untuk perbaikan Irak —jurnlah yang jauh lebih besar dari anggaran Marshall Plan pasca-Perang Dunia II. Pemerintah Washing­ton memang memperlakukan Irak sebagai "megaproyek".

Infrastruktur yang rusak parah akibat terjangan Tomahawk masuk dalam agenda blue print bertitel "Irak Baru". Mereka yang terlibat di sini adalah perusahaan dan kontraktor kelas kakap, seperti Bechtel, Fluor, Washington Group Interna­tional, Perini Corporation, Parsons, Lucent, dan CH2M Hill. Masing-masing mendapat jatah sendiri-sendiri. Nilai kontraknya luar biasa besar: US$ 512 milyar.

Namun perkongsian itu ternyata tak seindah American dream. T. Christian Miller, wartawan investigatif Los Angeles Times, mengungkapkan betapa bobroknya sistem yang mengendalikan Irak pasca-perang. la berhasil merangkai sebuah kajian mendalam dan kritis seputar kiprah gabungan politisi dan pengusaha di Irak dalam buku ini.

Miller menyebut banjirnya uang ke Irak sebagai awal semua tindakan ceroboh yang muncul satu per satu. Para pensiunan staf Republikan, pengusaha, dan warga Irak yang diasingkan berbondong-bondong ke Irak. Demikian pula perusahaan multi-nasional seperti Halliburton dan Bechtel yang beroleh kontrak raksasa tanpa tender
.

Politisi yang mengkritik situasi ini disingkirkan. Seorang di antaranya adalah Bunnatine "Bunny" Greenhouse, pejabat urusan kontrak paling senior dalam U.S. Army Corps of Engineers. la mengecam proses pemberian kontrak kepada Halli­burton Company untuk membangun kembali industri minyak Irak. la menyebutnya sebagai "pelanggaran kontrak paling terang-terangan dan tidak layak yang pernah saya saksikan sepanjang karier profesional saya". Walhasil, pangkatnya diturun-kan dan belakangan ia dipecat.

Belum lagi mafia senjata yang dijulukinya "hiu-hiu perang" yang berkeliaran di seantero kota. Seorang di antaranya ada­lah Victor Bout, makelar senjata asal Rusia yang pernah dituduh melanggar sanksi PBB. Meski CIA sudah memperingatkan Gedung Putih, warning itu diabaikan. De­mikian pula adanya simbiosis mutualisme antara politisi Washington dan kolega bisnisnya. Para birokrat Amerika ini membayar jatah kontraktor setelah menyunat sebagian untuk dirinya sendiri.

Penyimpangan dan kebocoran terjadi di sana-sini. Malah, usai pemilu Irak pada akhir Januari 2005, Stuart Bowen, jenderal inspektur khusus untuk rekonstruksi Irak, mengumumkan hasil audit Dana Pembangunan Irak. Hasilnya, hampir US$ 9 milyar hilang tanpa jejak.

Miller, yang telah menyabet berbagai penghargaan untuk karya jurnalistik, me­nyebut tragedi ini "ibarat buldoser raksasa dengan balok besi sebagai pedal gasnya, menggilas secara membabi buta segala yang ada di depan". Uang yang beredar di tanah Irak bukannya membantu, melainkan malah merusak. Uang itu, tak lain tak bukan, adalah blood money, uang yang mengandung darah yang telah tertumpah di tanah Irak

Dalam salah satu bagian tulisannya, Miller bertanya dengan miris dan sarkartis, sekaligus seperti sebuah desakan untuk merenung bagi para petinggi di Washing­ton. Katanya, "Bagaimana mungkin se­buah negara yang telah menerbangkan orangnya ke bulan tak sanggup membuat toilet berfungsi lancar di sebuah perkampungan kumuh di Baghdad?”

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes