Tuesday, November 13, 2007

SETELAH SADDAM TUMBANG

Judul: BLOOD MONEY
Penulis : T. Christian Miller
Penerjemah: Lelnovar Bahfein &Sigit
Penerbit : Ufuk Press
Edisi * : Mei 2007
Tebal : xxiv + 459 halaman

"Sedikitnya setengah triliun dolar Amerika habis untuk membangun Irak yang tak kunjung selesai melalui perusahaan-perusahaan milik para politisi. Ini setara jumlah pajak Indonesia selama sembilan tahun! Atau cukup membiayai penelitian dasar selama 1.000 tahun"
(Ruang Baca, Koran Tempo)

IRAK pada akhirnya hanyalah proyek Amerika Serikat, terutama Bush dan pengusaha-politisi yang menyokongnya. Empat tahun setelah invasi, tak kunjung terbukti benarkah Saddam Hussein punya senjata pemusnah massal yang menjadi alasan utama tentara koa-lisi menyerbu Irak. Christian Miller, melalui Blood Money, membuktikan dengan telak bahwa penjajahan ekonomi menjadi alasan paling utama. Senjata pemusnah massal hanya tinggal alasan, Amerika kini dihadankan nada kondisi Irak vang terkoyak-koyak

Buku ini sesungguhnya tak menyajikan cerita baru. Bahwa Amerika menginginkan minyak sudah menjadi rahasia umum sejak Bush menabalkan perang terhadap terorisme. Banyak analisis yang diterbitkan tentang masa depan Amerika dengan sumber daya minyak yang kian menipis. Bahwa senjata pemusnah massal hanya alasan yang dicari-cari sudah banyak diulas dalam pelbagai buku.

Buku ini menjadi penting karena menyajikan fakta-fakta baru dari semua rahasia umum itu. Dengan gaya naratif, kadang dengan detail yang tak perlu, Miller, wartawan Los Angeles Times, merekonstruksi peristiwa dari pelaku dan saksi, memadukannya dengan data dan dokumen, menyajikan serangkaian kepahitan warga Irak korban perang yang ia termui.

Karena itu, ada banyak sekali narasumber yang diwawancarai Miller, baik langsung maupun lewat surat-e dan telepon. Buku, dokumen digital, kertas kerja, beleid, diramu menjadi sebuah cerita yang utuh dan memikat, dengan deskripsi dan kutipan-kutipan langsung. The Washington Post menambah-kan Blood Money ke dalam daftar buku paling brilian tentang kesa-lahan penerapan liberalisme setelah The Assassin Gate (George Parker) dan Fiasco (Thomas E. Rick).

Blood Money sebelumnya berupa serangkaian hasil liputan Miller untuk korannya —judulnya diam-bil dari kata diyat, sebuah tradisi Islam di Irak tentang denda yang harus dibayar karena melukai atau membunuh orang. Oleh penerbit Ufuk diindonesiakan menjadi “Uang Haram”.*

Dimulai tahun 2002, Miller empat kali meliput langsung rekonstruksi Irak pascainvasi. Ia berangkat dengan satu pertanyaan sederhana—seperti umumnya liputan investigasi yang bagus:apa yang akan dilakukan pemerintahan Bush di negeri 1001 malam itu ?

Miller memulai ceritanya persis saat dua pesaat Boeing 737 menabrak menara kembar World Trade Centre.. Tak ingin mengulang liputan-liputan yang sudah ada, Miller hanya mengutip pelbagai buku untuk menunjukkan bahwa para pembantu Bush sudah merencanakan menggulingkan Saddam lima hari setelah serangan itu. Dari sana ceritanya berkembang ke arah yang ia sendiri tak menduganya. Pelbagai pertanyaan membawanya kepada orang-orang yang "selama ini diam dan menyangka telah bekerja untuk nilai-nilai Amerika", kepada mereka yang tahu dan segera sadar apa yang dilakukannya keliru.

Selama dua tahun meliput, Miller menemukan jawaban bahwa rekonstruksi kian jauh dari cita-cita semula. Pemerintahan Bush tak siap dengan kehancuran Irak yang parah. Yang lebih konyol, orang-orang Bush tak punya rencana apa pun dengan masa depan Irak seperti yang mereka gembar-gemborkan kepada dunia.

Banyak perusahaan tak jelas asal-usul dan pengalaman mum-puni memegang proyek listrik, air minum, hingga pemasok celana dalam untuk pekerja dan tentara. Perusahaan kontraktor yang menang tender tak lain dimiliki—setidaknya punya hubungan dengan — para pejabat Gedung Putih. Pemasok senjata, misalnya, dimenangkan seorang pengusaha tak terkenal yang pengalaman bisnisnya hanya jual beli mobil bekas.

Karena itu, sejumlah nama terkenal Gedung Putih dan senat wara-wiri mengisi setiap halaman buku ini. Tak cuma pejabat, orang Amerika menjadikan Irak sebagai batu loncatan menyongsong hidup lebih baik, kendati mempertaruhkan nyawa di antara desingan peluru. Orang berbondong menjadi sopir truk, pembersih toilet, tentara ba-yaran untuk mendapat gaji berkali-kali lipat. Mereka juga manja karena hanya mau tinggal di barak dan tenda-tenda berpendingin. Pendek-nya, "gaya hidup Texas pindah ke gurun-gurun Irak".

Dalam membangun kembali Irak, para pejabat Gedung Putih berpatokan pada Marshall Plan — sebuah megarencana ketika Amerika merekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II. Miller menyinggung sejarah Marshall Plan dan realitasnya di lapangan. la menyimpulkan, "Kebijakan Bush di Irak bertolak belakangan dengan Marshal Plan." Jika Marshall sukses membangun Eropa setelah perang, Bush di Irak sebaliknya. Kesalah-annya satu: tak seperti di Eropa, Amerika menangani langsung rekonstruksi Irak dan mengambil untung sebesar-besarnya dari sana.

Di Irak, pemberontakan warga lokal kian menggila. Pasokan minyak turun separuhnya dibanding saat Saddam berkuasa. Sumur baru tak ditemukan. Listrik byar-pet, air bersih langka, tak ada rumah sakit, para dokter setiap hari melihat anak-anak mati. Pekerja Amerika kebingungan apa yang harus dilakukan pertama kali.

Agar ceritanya "lebih basah" Miller tak hanya menyajikan wawancara dan dokumen. la juga menyajikan "laporan terlibat" ketika meliput perang dan mengunjungi desa-desa yang hancur di semenanjung Irak. la merekam jeritan janda-janda yang ditinggal mati para suami, para ibu Amerika yang kehilangan anak karena bertempur menghalau pemberontak. Setiap wawancara menjadi dramatis karena Miller menceritakan bagaimana mencari hingga berhasil menemui mereka, mendeskrip-sikan mimik, perawakan hingga sifat-sif at narasumbernya.

Miller membagi ceritanya ke dalam tiga bagian dan 13 bab, dengan subjudul untuk setiap tema. Ini jurus jitu untuk memudahkan jalinan dan jalan cerita sekaligus kekurangan karena satu fokus cerita selalu kurang lengkap. Buku 459 halaman ini mencoba tetap fokus pada tema utama bahwa pajak orang Amerika terhambur sia-sia untuk sebuah megaproyek konyol tanpa perencanaan. Sedikitnya setengah triliun dolar Amerika habis untuk membangun Irak yang tak kunjung selesai melalui perusahaan-perusahaan milik para politisi. Ini setara jumlah pajak Indonesia selama sembilan tahun! Atau cukup membiayai penelitian dasar selama 1.000 tahun.

Dan hambur-hambur uang itu telah menyengsarakan begitu banyak manusia di dunia, tak hanya di Irak. Neraca perdagangan Amerika yang defisit membuat suku bunga dolar terus dinaikkan untuk mencegah inflasi. Akibatnya, suku bunga dan nilai rupiah pun tak kunjung stabil karena dinaikkan juga agar tak terpuruk. Pemerintah Indonesia harus menaikkan harga bahan bakar minyak yang menyengsarakan seluruh rakyat akibat harga minyak melonjak karena pasokan seret,

Sederet akibat itu bersumber pada sebuah ambisi dan impian Amerika —di bawah Bush —menjadi polisi dunia (globo-cop). Dan "megaproyek Irak" membuktikan, di zaman Internet ini, mimpi itu sulit terwujud.

»BAGJA HIDAYAT

*"Uang Haram".
Dimulai pada 2002, Miller empat kali meliput langsung rekonstruksi Irak pascainvasi. la berangkat dengan satu pertanyaan sederhana — seperti umumnya liputan investiga-tif yang bagus: apa yang akan dila-kukan pemerintahan Bush di nege-ri 1001 malam itu?
Miller memulai ceritanya persis saat dua pesawat Boeing 737 mena-brak menara kembar World Trade Center. Tak ingin mengulang liput-an-liputan yang sudah ada, Miller

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes