"Bacalah buku ini untuk membuka perspektif baru"
(Majalah Adil, Edisi September 2007)
Buku ini aslinya berjudul The Secret History of The American Empire dengan subjudul Economic Hit Men, Jackals, and the Truth about Global Corruption. Karya kedua John Perkins, penulis sekaligus dukun (kalau shamanism bisa dimaknai sebagai perdukunan) itu lalu diterjemahkan menjadi Pengakuan Bandit Ekonomi dengan subjudul Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga. Pengubahan ini bukan tidak signifikan.
Edisi Indonesianya masih ingin memperlihatkan bahwa buku kedua ini masih terkait dengan buku pertama Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, sehingga buku kedua yang semestinya diberikan tajuk Sejarah Rahasia Kemaharajaan Amerika dialihkan menjadi terjemahan literer dari judul buku Perkins yang pertama. Menarik.
Penggunaan subjudul Kelanjutan Kisah daripada Korupsi Global (Global Corruption) merupakan pengulangan dan penegasan keterkaitan buku ini dengan Confessions karya Perkins yang laris manis. Semua atribut mesti digunakan untuk memperjelas kedekatan ini. Di samping itu, pemakaian Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga ketimbang Global menunjukkan usaha untuk lebih memperlihatkan bahwa buku ini bersifat lebih khusus pada masalah Indonesia dan negara-negara dunia ketiga sembari memarjinalkan sifat kemenduniaan yang ingin diutarakan Perkins. Lagi-lagi ini merupakan taktik menarik yang membuat buku ini bukan saja terasa dekat dengan buku Perkins sebelumnya yang bestseller melainkan juga membikin buku ini memiliki kedekatan khusus dengan pembaca Indonesia.
Pendekatan jenial ini bukan tanpa kekurangan. Sifat global menguat di Bagian 5: Mengubah Dunia, seiring dengan pembahasan Perkins mengenai agenda perubahan yang mesti dibawa ke jantung si pembuat onar itu sendiri: Amerika Serikat. Sehingga Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga, suatu pilihan kata yang mirip judul buku Tintin itu, menjadi terkesan melenceng serta, meminjam pilihan kata Wapres Jarwo Kuat di Republik Mimpi, tak lagi relevan dan signifikan. Perkins juga kerap menegaskan globalitas ini dengan menggunakan perumpamaan yang asing buat orang Indonesia, misalnya ketika menggambarkan seorang perempuan Indonesia yang menatap "seperti seekor kelinci betina di lapangan New Hampshire" (h.24). Alamak.
Tetapi penggunaan Kelanjutan Kisah memang absah. Membaca buku ini tanpa terlebih dahulu menyimak pendahulunya seperti menyantap hidangan penutup sebelum menikmati menu utama. Ambil contoh bagaimana Perkins menggambarkan pergeseran standar mata uang dari emas ke dolar yang dibantu dengan percepatannya oleh konflik Arab-Israel dan bisnis minyak (h.215-220). Celakanya, detil strategi yang dikerjakan sang economic hit man tak dijelaskan sebab "sudah disajikan dalam buku "Confessions". Dan Perkins melakukan itu berulang kali. Beruntung mereka yang sudah membaca Confessions, malang mereka yang belum. Kocek harus lebih dalam dirogoh demi kedua buku ini. Terasa sekali profesi sebagai economic hitman ternyata masih melekat pada Perkins. Sebagaimana Confessions, Pengakuan (atau Secret History agar tak membingungkan) bersandar pada kisah pengalaman John Perkins meruntuhkan ekonomi negara-negara demi kepentingan kekuasaan perusahaan. Economic Hit Man (EHM) bukan mirip dengan terjemahannya sebagai bandit ekonomi. Mengingat tugas EHM adalah mengubah negara miskin menjadi pecandu utang maka mungkin lebih pas bila hit man ditafsirkan sebagai pelibas. Melibas berarti memukul seperti hit, juga menipu sebagaimana fungsi seorang hitman. Pelibas ekonomi macam Perkins direkrut bukan oleh dinas intelijen CIA melainkan Badan Keamanan Nasional (NSA); menerima gaji bukan dari pemerintah tetapi dari sektor swasta. Tak jelas kemana EHM mesti memberikan loyalitas: negara (AS) atau perusahaan (korporasi). Tetapi Perkins seakan ingin menyiratkan bahwa kemaharajaan Amerika dikuasai elite korporasi dalam satu hirarki korporatokrasi.
Perkins cukup detil menceritakan pengalaman tetapi terhambat dalam pembahasan. Seperti Confessions, Secret History memberikan banyak informasi tentang kebijakan yang menguntungkan kepentingan korporat Amerika. Tetapi bukti dakuan yang diberikan jauh dari memadai sehingga susah membedakannya dengan diari. Walau kisah EHM boleh jadi benar adanya namun interpretasi dan analisis yang disodorkannya tak lantas menjadi benar pula.
Demikian halnya dengan rahasia yang dijanjikan melalui judul agung The Secret History ternyata lebih terkait pada banyaknya sumber yang Perkins rahasiakan, seperti koruptor kakap asal Indonesia yang disamarkan sebagai "Emil" (h.59-61). Baiktokoh Emil maupun ceritanya tak bisa dikonformasikan oleh Perkins. Lebih fantastis lagi adalah cerita invasi AS semasa Bush tua ke Panama yang dikarenakan Noriega menyimpan foto Bush muda tengah "mengisap kokain dan melakukan hubungan seks tidak wajar" (h.i66). Atau Monica Lewinsky sebenarnya suruhan Linda Tripp yang ditugaskan "untuk menghancurkan seorang presiden yang ditakuti sebagai reformis, yang bisa menghancurkan korporatokrasi" (h.iyi). Tanpa argumen atau data yang kuat, semua itu bisa tak lebih sekadar isapan jempol.
Perkins pun terlalu disibukkan dengan kisah pribadi yang lagi-lagi tak relevan dan signifikan terhadap keseluruhan isi buku. Salah satu contoh adalah bab Carioca yang cantik (h.i69-174) bercerita bagaimana Perkins menghadiri World Social Forum di Brazil untuk berbicara tentang Confessions dan godaan wanita cantik yang ia tampik.
Mungkin benar belaka bahwa "laporan ekonomi susunan [Pelibas] Ekonomi adalah senjata yang jauh lebih ampuh diban-dingkan pedang serdadu Perang Salib" (h.257). Apabila karya Perkins yang dijadikan tolak ukur bakal banyak keraguan timbul. Tetapi bacalah buku ini untuk membuka perspektif baru. •
No comments:
Post a Comment