Friday, January 21, 2011


INDONESIA AWAL PERADABAN DUNIA

Ciri khas mitologi di kawasan Indonesia dan Asia Tenggara adalah banyaknya cerita banjir. Kisah banjir ini yang menjadi dasar teori Oppenheimer bahwa peradaban tertua di dunia berasal dari kawasan Indonesia, umumnya Asia Tenggara.

Stephen James Oppenheimer merupakan dokter ahli genetika yang menyelesaikan program doktoral di Universitas Oxford, Inggris. Sekitar empat dekade silam, dia mulai tertarik pada peradaban manusia prasejarah. Pada 1998, dia menghasilkan Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia, karya kontroversial yang menyatakan Indonesia sebagai awal peradaban dunia.

Pada 1972, Oppenheimer bekerja di beberapa rumah sakit di Asia Tenggara. Puncaknya saat menjadi dokter terbang di Borneo. Di saat senggang, dia bepergian ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Keanekaragaman budaya membuatnya takjub, melebihi hasil kunjungannya di Eropa, Maroko, dan Timur Tengah. Meski dia menyadari bahwa Asia Tenggara telah meminjam banyak hal seperti agama dan ide dari India, China, dan Barat. Namun, dia mempertanyakan peradaban yang telah ada sebelum kedatangan kebudayaan tersebut.

Pada 1979, Oppenheimer meneliti anemia (turunnya kadar sel darah merah atau hemoglobin dalam darah) pada anak-anak di pantai utara Papua Nugini. Saat itulah dia melihat perbedaan genetis dalam darah anak-anak di desa tertentu yang dalam mitos disebut sebagai keturunan Kulabob dan Manup. Anak-anak keturunan Kulabob lebih tahan terhadap malaria karena terjadi mutasi genetis pada mereka.

Mutasi genetis anak-anak Kulabob ini menjadi penanda jejak imigrasi orang Polinesia ke Pasifik. Sementara itu, keturunan Manup adalah keturunan Papua asli yang telah bermigrasi ke Papua Nugini jauh lebih awal, selama Zaman Es. Saat itulah Oppenheimer mulai bertanya: apa yang mendorong orang-orang kuno Asia Tenggara meninggalkan kampung halamannya yang subur berlayar ke Pasifik, sekaligus meninggalkan jejak genetis, budaya, dan bahasa di sepanjang pantai utara Papua Nugini dalam perjalanan mereka ke timur.

Pertanyaan tersebut mulai mendapat titik terang ketika pada 1993, Oppenheimer menghadiri pameran arkeologi maritim di Manila, Filipina. Kurator museum bercerita tentang kisah banjir yang dimiliki suku-suku di Filipina. Belakangan dia sadar bahwa ada kemungkinan sebuah banjir di paparan Asia Tenggara meluas pada akhir Zaman Es. Banjir tersebut telah mengusir penduduk di tepi pantai dan menyebar ke Pasifik. Dalam penyebaran itu, sangat mungkin mereka membawa berbagai kebudayaan.

Dengan menggunakan perangkat penelitian: geologi, arkeologi, linguistik, dan genetika, Oppenheimer menemukan bahwa orang-orang kuno Asia Tenggara bermigrasi karena diusir oleh banjir besar berturut-turut pada 14.000, 11.500, dan 8.000 tahun SM, yang menaikkan air laut setinggi 120 meter. Daerah dataran rendah Asia Tenggara tenggelam seluas India. Yang tertinggal hanya pulau-pulau pegunungan yang terpencar-pencar.

Sebelum banjir menenggelamkan, Asia Tenggara merupakan pulau besar yang membentuk sebuah benua berukuran dua kali India pada puncak Zaman Es sekitar 20.000-18.000 SM. Meliputi Indocina, Malaysia, dan Indonesia. Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, dan Laut Jawa, yang dulunya kering, membentuk bagian-bagian yang menghubungkan benua tersebut. Secara geologis, benua yang setengah tenggelam ini disebut paparan Sunda atau Sundaland. Paparan Sunda merupakan dataran luas yang berada di wilayah Indonesia dan sekitarnya sekarang. Sebelum dipisahkan oleh laut, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan masih menyatu dengan Asia Daratan. Daratan ini juga menghubungkan Kalimantan dengan wilayah selatan Cina.

Oppenheimer percaya, saat Paparan Sunda belum tenggelam, penduduknya sudah memiliki kemampuan teknologi bertani, mencari ikan, atau membuat tembikar. Kemampuan pertanian ini boleh dibilang paling tua di dunia. Begitu Paparan Sunda direndam air secara mendadak, penduduknya menyingkir. Mereka membawa serta teknologi pertanian dan sebangsanya ini ke seluruh dunia. Ke barat, pengaruh para imigran dari wilayah Indonesia dan sekitarnya ini sampai Eropa, sedangkan ke timur sampai ke Benua Amerika dengan melewati Selat Bering, yang ribuan tahun lalu masih bisa dilewati dengan berjalan kaki, tidak perlu menggunakan perahu.

Oppenheimer menyontohkan, peradaban tua Sumeria 5.000 SM, juga dipengaruhi oleh peradaban orang-orang berpenutur Austronesia –rumpun bahasa yang mencakup bahasa-bahasa di Indonesia– dari Asia Tenggara. Selama ini para ahli sejarah menyatakan di Sumeria sistem hukum sudah dikembangkan, teknik militer sudah cukup maju karena terus terjadi perang antarkota. Roda, salah satu temuan teknologi paling berpengaruh di dunia, juga sudah diciptakan. Dan terutama huruf telah digunakan, yaitu dalam bentuk huruf paku.

Namun Oppenheimer melihat beberapa temuan dari wilayah Sumeria menunjukkan kesamaan dengan kebiasaan atau teknologi Austronesia. Gerabah yang ditemukan di Ur, salah satu kota tua Sumeria, menunjukkan beberapa kesamaan dengan gerabah di Asia Tenggara. Begitu pula, temuan patung-patung dengan rajah. Seni membuat rajah alias tato itu khas Austronesia. Di Sepik Tengah, Papua Nugini, beberapa suku lokal sampai kini masih mempraktikkan seni rajah ini.

Tidak hanya teknologi yang disebarkan para penduduk Asia Tenggara ribuan tahun silam ke berbagai penjuru dunia, tapi juga mitologi kisah banjir. Gilgamesh, kisah banjir bandang Sumeria yang memiliki kesamaan dengan banjir Nuh, menurut Oppenheimer, bertolak dari kisah tenggelamnya Paparan Sunda.

Teori Oppenheimer ini membantah teori Out of Taiwan Peter Belwood pada akhir 1970-an. Teori yang dibuat berdasarkan pendekatan bahasa ini menyatakan bahwa penyebaran Austronesia dipercaya berasal dari Taiwan. Jika dirunut, keluarga rumpun bahasa Melayu sampai ke suku-suku pribumi di Taiwan. Orang Taiwan masuk wilayah Indonesia dan sekitarnya baru pada 4.000-3.500 SM. Batas waktu ini jauh lebih muda daripada teori Oppenheimer, yang menyatakan bahwa orang Austronesia sudah ada di wilayah ini sejak 50.000 SM dan mengembangkan teknologi pertanian di sini.

Arkeolog Universitas Indonesia Harry Truman Simanjuntak, yang membahas Eden in The East di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 28 Oktober 2010, lebih memegang teori Belwood. Menurutnya arkeologi dan linguistik kurang mendukung teori Oppenheimer. Dia merujuk pada sejumlah temuan seperti tembikar yang waktunya tidak melebihi batas 4.000 SM. Harry bahkan memperkuat temuan Belwood bahwa jalur penyebaran dari Taiwan ini tidak hanya lewat Filipina-Kalimantan, tapi juga menyusuri pantai Indocina, menyeberang ke Sumatera dan Jawa. Teori ini berdasarkan perbedaan gaya tembikar di Indocina-Sumatera-Jawa bagian tengah dengan wilayah lain.

Tapi Oppenheimer bersikukuh. Menurutnya, bahasa bisa menyebar, tapi orangnya bisa jadi tidak menyebar. Jadi mungkin saja bahasa Austronesia memang menyebar dari Taiwan, tapi penduduknya tetap yang itu-itu saja.

Dari sisi genetis, pendekatan Oppenheimer didukung oleh pakar genetika. Penelitian hampir 100 ilmuwan genetika Asia, termasuk Sangkot Marzuki, pemimpin Lembaga Eijkman, yang juga membahas buku tersebut sudah memetakan genetika manusia Asia. Hasilnya: Asia Tenggara adalah pusat penyebaran manusia modern setelah Afrika

Melalui buku ini, Oppenheimer mengklaim beberapa ide baru –sementara beberapa hipotesa masih menjadi konsensus di kalangan akademisi. “Saya percaya bahwa sayalah orang pertama yang membela Asia Tenggara sebagai sumber dari unsur-unsur peradaban Barat.”*

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes