
HARMONISASI DALAM KOMUNIKASIi
Buku ini berisi informasi dan tips-tips sederhana dan praktis untuk menggali, membaca, memahami pencitraan diri kita, dan mengekspresikannya secara akurat. Tapi tidak berlebihan
(Hendri Isnaeni, Seputar Indonesia, Januari 2011)
(Hendri Isnaeni, Seputar Indonesia, Januari 2011)
Menciptakan bahasa tubuh yang harmonis dalam berkomunikasi penting karena bahasa tubuh merupakan cerminan kepribadian. Bahasa tubuh merupakan bentuk komunikasi paling fasih, indah, jujur, dan sangat berpengaruh. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, 55 persen yang ditangkap oleh lawan bicara merupakan dampak dari bahasa tubuh. Sedangkan dampak dari nada bicara 38 persen dan kata-kata hanya 7 persen. Menggabungkan ketiga komponen tersebut akan membuat kita sukses atau malah dianggap pembohong. Jika caranya benar, maka akan menuai dampak positif. Jika caranya salah, kita malah tidak akan dipercaya dan diabaikan oleh lawan bicara kita. Kuncinya adalah harmonisasi.
Inilah yang disebut komunikasi sempurna. Artinya perkataan, nada bicara, dan isyarat nonverbal (bahasa tubuh) menari dalam irama yang sama. Gabungan ketiganya menyatu satu sama lain dan saling melengkapi. Dengan cara ini akan tampak jujur dan apa adanya, serta benar-benar bermaksud seperti yang dikatakan.
Sangat penting untuk menjaga agar komunikasi terlihat selaras. Kelihatannya mudah, tapi sebenarnya tidak juga. Ketidakharmonisan bahasa tubuh tidak selalu disebabkan oleh karena berbohong atau ingin menutupi sesuatu. Bahasa tubuh bisa meleset gara-gara banyak hal. Salahsatunya yang paling sering adalah karena malu. Perasaan malu menyebabkan terjadinya gerakan tubuh yang tidak selaras.
Semakin merasa diperlihatkan atau diawasi, maka gerak tubuh biasanya semakin aneh. Contohnya, ketika menyambut seorang klien dengan berkata betapa senangnya bertemu dengannya, namun karena malu, mata kita malah berkedip ke lantai ketika mengatakannya, atau tidak menjabat tangannya dengan hangat, atau malah melipat tangan untuk menjaga jarak. Dengan begitu, klien bisa ragu.
Dalam buku ini, ahli bahasa tubuh, perilaku sosial, dan pencitraan Judi James menyarankan beberapa hal agar bahasa tubuh harmonis, yaitu fokus pada sasaran ketika berbicara, posisikan diri sebagai penerima pesan, hindari menggunakan gaya berlebihan, atur nafas dan kendurkan otot-otot tubuh sebelum berbicara, jika otot pundak tegang postur tubuh akan terlihat aneh, gerak isyarat alami akan selalu muncul sepersekian detik lebih dulu sebelum kata-kata keluar, latihan berbicara di depan cermin setinggi tubuh, dan bayangkan diri berbicara dengan gaya isyarat yang anggun. Sementara, untuk menghindari ketidakharmonisan maka jangan meniru gaya orang lain, hapuskan ekspresi datar, dan waspadai pesan nonverbal yang tidak terkendali.
Harmonisasi berlebihan adalah ketika perkataan, nada bicara, dan isyarat nonverbal berjalan beriringan, tapi karena terlalu bersemangat membuat lupa diri. Ini tidak bagus. Hal ini bisa diketahui dari nada bicara yang terlalu keras dan gerakan tubuh berlebihan. Harmonisasi berlebihan adalah musuh kerendahan hati. Gaya ini tidak laku kecuali seorang presenter televisi belanja. Harmonisasi berlebihan juga disebut sebagai isyarat yang mubazir dan amat menyiksa.
Judi menyebut harmonisasi berlebihan sebagai “penipu ulung” atau “politisi”. Contohnya Mantan Perdana Menteri Inggris Anthony Charles Blair (Tony Blair) yang matanya berkaca-kaca lalu mengedip-ngedipkan mata akibat sesuatu hal yang dianggap agak menyedihkan. Atau sama seperti mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown yang sedang memainkan piano raksasa tak kasat mata. Dia menusuk-nusukkan kedua jari telunjuknya di udara ketika berpidato tentang sesuatu yang tidak penting.
Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jug memperagakan harmonisasi berlebihan. Dengan hati-hati dia menata bahasa tubuh dan gaya bicaranya. Namun hasilnya publik malah menilannya sebagai politik pencitraan. Seperti dijelaskan editorial Berdikari Online, 11 Oktober 2010: “Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan ‘tampilan luar’, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun ‘tukang jual obat’ yang pintar menipu calon pembeli.”
Akibat terlalu berlebihan membuat orang-orang malah tidak akan suka, “karena orang lain bisa mencium kepalsuan bahkan dari jarak yang sangat jauh,” kata Judi yang selalu muncul dalam acara terkenal Big Brother, The Xtra Factor, Newsnight, dan Sky News.
Untuk menghindari harmonisasi berlebihan, Judi menyarankan pertama, jaga isyarat tangan agar tetap berada dalam zona kongruen, yaitu zona di antara pundak dan pinggang, semakin tinggi posisi tangan akan semakin tampak tidak harmonis. Kedua, jika bukan tipe orang yang tergila-gila dan terlalu bersemangat dengan bahan yang akan disampaikan maka turunkan nada bicara beberapa not. Ketiga, seperti biasa, latihan di depan cermin besar untuk mengurangi kekuatan bahasa tubuh yang terlalu berlebihan.
Selain masalah harmonisasi berlebihan, ternyata tidak semua bahasa tubuh dapat menyampaikan segala pesan secara ideal. Karena manusia lebih suka menekan segala isyarat negatif yang dimilikinya. Ini disebut dengan “mengenakan topeng”.
Pencitraan dan penampilan menjadi ukuran dalam sebuah keberhasilan bagi masyarakat saat ini. Hanya kurang dari tiga detik, secara tak sadar manusia saling menilai satu sama lain berdasarkan bahasa tubuh mereka. Melalui gaya bahasanya yang unik dan jenaka, Judi menunjukkan cara menafsirkan gerakan tubuh manusia beserta pesan-pesan tersembunyi di baliknya secara tuntas dan baik dipergunakan untuk karier, urusan bisnis, pergaulan, percintaan, meningkatkan popularitas di depan umum, dan lainnya.
Buku ini berisi informasi dan tips-tips sederhana dan praktis untuk menggali, membaca, memahami pencitraan diri kita, dan mengekspresikannya secara akurat. Tapi tidak berlebihan.[]
Hendri F. Isnaeni
Penulis Sejarah di Majalah Historia Online (www.majalah-historia.com)
Peraih Paramadina-The Jakarta Post Fellowship
No comments:
Post a Comment