
MENGETUK KEPEDULIAN CARA IWAN
Melalui Miskin Tapi Sombong ia mengetuk kepedulian itu melalui puisi, pantun dan cerpen super pendek dengan bahasa yang ringan. Bukan imbauan tapi perenungan. Ringan tapi penuh dengan secara tak sadar tumbuh setelah membaca buku ini, empati.
(Majalah Sharing, Mei 2009)
Melalui Miskin Tapi Sombong ia mengetuk kepedulian itu melalui puisi, pantun dan cerpen super pendek dengan bahasa yang ringan. Bukan imbauan tapi perenungan. Ringan tapi penuh dengan secara tak sadar tumbuh setelah membaca buku ini, empati.
(Majalah Sharing, Mei 2009)
Judul buku : Miskin Tapi Sombong, kisah-kisah menggelitik wong cilik
Penulis : Iwan Sulistiawan
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan I : April 2009
Tebal : 204 halaman
Penulis : Iwan Sulistiawan
Penerbit : Ufuk Press
Cetakan I : April 2009
Tebal : 204 halaman
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis menyatakan bahwa kemiskinan itu akan membawa seseorang pada kekufuran. Bukan sekedar peringatan bersifat normatif tapi adalah sebuah tesis yang sesuai dengan fakta dan terbukti sepanjang sejarah. Kemiskinan dekat dengan putus asa dan senantiasa diuji dengan ketidaksabaran, mudah marah dan pada gilirannya, “mempertanyakan” keadilan takdir.
Dari hadis Nabi di atas dapat dipahami betapa berbahayanya kemiskinan. Orang miskin amat mudah terjebak pada tindak kejahatan dan kekufuran. Tak salah, jika Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan tentang bahaya kemiskinan, “Jika kemiskinan itu berbentuk tubuh manusia maka aku akan membunuhnya.”
Dalam buku Miskin Tapi Sombong, Kisah-kisah menggelitik Wong Cilik, Iwan Sulistiawan, salah satu dosen teladan DKI Jakarta tahun 2006, mengaduk-aduk kemiskinan dengan sesuatu yang paradoksial.; membenturkan (atau menggandengkan) kemiskinan dengan kesombongan. Mengutip Jaya Suprana yang memberi pengantar dalam buku ini, sombong dalam buku ini jangan diartikan sebagai tinggi hati, karena kata sifat ini sangat persepsional.
Dalam keseharian kita, lebih lazim bagi orang kaya bersikap sombong. Ketika seorang miskin berlagak sombong, maka lebih tepat dibaca sebagai “biar miskin tapi percaya diri.” Walaupun memang, ada juga orang yang secara ekonomi tidak beruntung namun sombong dengan kemiskinannya, dan menggunakan kemiskinan sebagai tameng agar orang kasihan kepadanya. Namun kondisi paling ideal: si kaya tidak sombong dan si miskin percaya diri untuk keluar dari belenggu kemiskinannya.
Tapi Iwan tak berpanjang-panjang mengurai soal miskin dan sombong dalam buku ini. Melalui kisah-kisah yang menggelitik dan kadang satir, ia mengajak kita merenungi makna hidup dan mensyukuri apa pun yang kita terima.
Kemiskinan pada dasarnya memiliki potensi untuk menghambat terwujudnya idealisasi maqosid al-syari’ah, yang merupakan standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di balik segala aturan-aturan yang telah disyariatkan. Karena itu, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuan dan porsi masing-masing. Anjuran itu berlaku juga bagi seseorang yang tidak mempunyai materi, yaitu dengan menyumbangkan pemikiran dan simpatinya.
Keterlibatan seorang Muslim dalam memberantas kemiskinan adalah salah satu bentuk tanggung jawab pribadi Muslim dalam menyucikan jiwa, harta, serta keluarganya. Di sinilah kemudian Islam sangat menekankan solidaritas sosial untuk kesejahteraan bersama.
Solidaritas sosial memang tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Namun yang utama adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial bagi setiap individu yang mempunyai kecukupan ekonomi.
Iwan tidak perlu menulis esai panjang tentang solidaritas sosial ini. Tak perlu menjelaskan kepada si kaya bahwa di balik tembok rumahnya, di ujung jalan kantornya, atau di samping mobil licinnya di lampu merah masih banyak kaum papa yang perlu bantuan.
Melalui Miskin Tapi Sombong ia mengetuk kepedulian itu melalui puisi, pantun dan cerpen super pendek dengan bahasa yang ringan. Bukan imbauan tapi perenungan. Ringan tapi penuh dengan secara tak sadar tumbuh setelah membaca buku ini, empati. Tepatnya, Iwan mengajak Anda untuk bercermin pada diri Anda sendiri. “Anda” dalam buku Iwan menjelma menjadi banyak sosok; direktur yang ketinggalan charger ponsel (padahal ponsel vital buatnya untuk ….berselingkuh!), Pak Yudha yang riya, atau teman-teman Wahyu yang mengolok-olok kemiskinannya.
Singkat kata, Iwan secara tidak langsung ingin mengingatkan kita: jadilah orang yang bermanfaat dalam hidup yang singkat ini. Siapapun Anda, kaya atau miskin, jadilah bagian dari solusi, bukan malah menambah masalah. “Hamba yang paling dicintai adalah hamba yang paling bermanfaat bagi orang lain….” (HR Thabrani) . SS
Dari hadis Nabi di atas dapat dipahami betapa berbahayanya kemiskinan. Orang miskin amat mudah terjebak pada tindak kejahatan dan kekufuran. Tak salah, jika Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan tentang bahaya kemiskinan, “Jika kemiskinan itu berbentuk tubuh manusia maka aku akan membunuhnya.”
Dalam buku Miskin Tapi Sombong, Kisah-kisah menggelitik Wong Cilik, Iwan Sulistiawan, salah satu dosen teladan DKI Jakarta tahun 2006, mengaduk-aduk kemiskinan dengan sesuatu yang paradoksial.; membenturkan (atau menggandengkan) kemiskinan dengan kesombongan. Mengutip Jaya Suprana yang memberi pengantar dalam buku ini, sombong dalam buku ini jangan diartikan sebagai tinggi hati, karena kata sifat ini sangat persepsional.
Dalam keseharian kita, lebih lazim bagi orang kaya bersikap sombong. Ketika seorang miskin berlagak sombong, maka lebih tepat dibaca sebagai “biar miskin tapi percaya diri.” Walaupun memang, ada juga orang yang secara ekonomi tidak beruntung namun sombong dengan kemiskinannya, dan menggunakan kemiskinan sebagai tameng agar orang kasihan kepadanya. Namun kondisi paling ideal: si kaya tidak sombong dan si miskin percaya diri untuk keluar dari belenggu kemiskinannya.
Tapi Iwan tak berpanjang-panjang mengurai soal miskin dan sombong dalam buku ini. Melalui kisah-kisah yang menggelitik dan kadang satir, ia mengajak kita merenungi makna hidup dan mensyukuri apa pun yang kita terima.
Kemiskinan pada dasarnya memiliki potensi untuk menghambat terwujudnya idealisasi maqosid al-syari’ah, yang merupakan standar ideal pencapaian kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di balik segala aturan-aturan yang telah disyariatkan. Karena itu, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuan dan porsi masing-masing. Anjuran itu berlaku juga bagi seseorang yang tidak mempunyai materi, yaitu dengan menyumbangkan pemikiran dan simpatinya.
Keterlibatan seorang Muslim dalam memberantas kemiskinan adalah salah satu bentuk tanggung jawab pribadi Muslim dalam menyucikan jiwa, harta, serta keluarganya. Di sinilah kemudian Islam sangat menekankan solidaritas sosial untuk kesejahteraan bersama.
Solidaritas sosial memang tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Namun yang utama adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab sosial bagi setiap individu yang mempunyai kecukupan ekonomi.
Iwan tidak perlu menulis esai panjang tentang solidaritas sosial ini. Tak perlu menjelaskan kepada si kaya bahwa di balik tembok rumahnya, di ujung jalan kantornya, atau di samping mobil licinnya di lampu merah masih banyak kaum papa yang perlu bantuan.
Melalui Miskin Tapi Sombong ia mengetuk kepedulian itu melalui puisi, pantun dan cerpen super pendek dengan bahasa yang ringan. Bukan imbauan tapi perenungan. Ringan tapi penuh dengan secara tak sadar tumbuh setelah membaca buku ini, empati. Tepatnya, Iwan mengajak Anda untuk bercermin pada diri Anda sendiri. “Anda” dalam buku Iwan menjelma menjadi banyak sosok; direktur yang ketinggalan charger ponsel (padahal ponsel vital buatnya untuk ….berselingkuh!), Pak Yudha yang riya, atau teman-teman Wahyu yang mengolok-olok kemiskinannya.
Singkat kata, Iwan secara tidak langsung ingin mengingatkan kita: jadilah orang yang bermanfaat dalam hidup yang singkat ini. Siapapun Anda, kaya atau miskin, jadilah bagian dari solusi, bukan malah menambah masalah. “Hamba yang paling dicintai adalah hamba yang paling bermanfaat bagi orang lain….” (HR Thabrani) . SS
No comments:
Post a Comment