Sunday, December 21, 2008

TIPU DAYA RAMUAN AJAIB BUL JABUL

Oleh: Happy Salma


Saya yakin novel ini pasti akan laris
(Happy Salma, Press Conference Rosid & Delia, Café Au Lait, 19 Desember 2008)


Saya ingin menyebut novel ini sebagai novel petualangan. Bukan petualangan mencari jawaban atas teka-teki besar yang habis-habisan menguras stamina baca sebagaimana yang lazim disuguhkan oleh pengarang novel-novel thriller, melainkan sebuah petualangan unik dan khas tent mg pencarian ramuan Bul Jabal Bul yang dipercayai berkhasiat dapat meretakkan hubungan asmara. Adalah Mansur al-Gibran, muslim tulen, kelahiran Condet, yang dipasang sebagai tokoh utama dalam novel berlatar perkampungan Betawi-Arab ini. Hampir separuh dari buku ini menceritakan tentang daya-upaya Mansur memburu ramuan ajaib itu guna memisahkan hubungan percintaan Rosid (anak laki-laki Mansur) dengan Delia—perempuan yang dicintai Rosid, lebih dari mencintai dirinya sendiri—lantara hubungan itu tidak lazim (bila tidak bisa disebut 'terlarang').

Betapa tidak? Rosid, turunan langsung dari marga al-Gibran, Arab-Betawi kental, menjalin hubungan asmara dengan Delia yang jelas-jelas tumbuh dan besar dari keluarga katolik taat. Perbedaan di antara mereka begitu kentara. Seumur-umur Mansur tidak bisa membayangkan bahwa kelak ia bakal punya menantu orang yang berbeda keyakinan. Membayangkan saja ia tak sanggup, apalagi merestui hubungan terlarang itu. Karena itu, ia sudah mengerahkan bermacam-macam bujukan dan nasehat agar Rosid bisa melupakan Delia, tapi semakin dihalangi, cinta Rosid pada Delia semakin tak terpermanai. Rosid bahkan tak segan-segan kehilangan orangtuanya, asalkan ia tidak kehilangan perempuan pujaan hatinya.

Itu sebabnya pengarang kisah romantika khas Betawi-Condet ini merancang sebentuk jalan magis untuk menjawab kegelisahan Mansur. Dihadirkannya tokoh Rodiyah, adik kandung Mansur (lagi-lagi marga al-Gibran), perempuan yang dipercayainya punya banyak taktik dan trik-trik jitu untuk memisahkan Rosid dan Delia. Di titik inilah munculnya kisah perburuan ramuan minyak Bui Jabal Bul. Adalah Usman, dukun yangdidatangi Mansur dan memintanya untuk mencari ramuan ajaib itu. Bila sudah diperoleh—tentunya setelah dimantrai-mantrai—minyak itu akan dioleskan di bagian tubuh Rosid. Setelah itu, niscaya Rosid, si gondrong-kribo bakal melepaskan Del ia. Cara kerja yang terbilang gampang ketimbang kompleksitas persoalan yang muncul akibat senjangnya perbedaann antara Rosud dan Delia.

Sebagai kesinambungan dari novel pertama Ben Sohib (THE DAPECI COCLE, 2006), kecendrungan literer novel ini rasanya belum memperlihatkan sebuah kebaruan yang mencengangkan. Kalaupun ada gairah kebaruan, itu terlihat pada sisi keberanian pengarang dalam mendedahkan gagasan yang lebih besar. Ia tak lagi meniru-niru kecenderungan suspensif dengan mengacu pada novel-novel BEST-SELLER, tapi mulai membangun pijakan kisah yang mandiri, tanpa harus mengekor pada novel-novel laku.

Ramuan Bui Jabal Bul hanyalah modus yang ditempuh pengarang untuk memperlihatkan kekolotan cara berfikir kaum salafi-fundamentalis dalam menyikapi pelbagai masalah keislaman kontemporer yang semakin tak terhindarkan. Pencarian ramuan ajaib itu seperti menggambarkan semacam lelaku pelarian dari masalah yang sejatinya tidak bisa terselesaikan secara gampangan macam itu. Sementara itu, Rosid dan Delia yang terus memperjuangkan hubungan terlarang itu menikam semacam gairah perlawanan yang tiada kunjung padam terhadap ortodoksi keislaman dan kebetawian yang selama ini jarang diperbincangkan—meski telah banyak memunculkan masalah. Saya kira, di titik inilah pentingnya petualangan prosaik buku ini.

Namun, karena ekspektasi saya terlalu banyak terhadap novel ini—sebagaimana pengalaman baca saya terhadap prosa-prosa berlatar Betawi seperti TERANG BULAN TERANG DI KALI (SM.Ardan), CAMBANG JAKARTE (Firman Muntaco), dll—saya menemukan banyak sekali celah yang rasa-rasanya belum terisi. Barangkali karena pengarang begitu sibuk mengurus konflik segitiga antara Rosid, Delia, dan Mansur Al-Gibran yang begitu rinci dan kompleks sehingga ia abai menggarap karakter tokoh-tokoh lain yang sebenarnya juga berperan sangat penting dalam novel ini. Rodiyah misalnya, ia punya riwayat sendiri, utamanya riwayat perihal kegandrungannya pada laki-laki muda. Suami

didatangi Mansur, dan memintanya untuk mencari ramuan ajaib itu. Bila sudah diperoleh—tentunya setelah dimantrai-mantrai—minyak itu akan dioleskan di bagian tubuh Rosid. Setelah itu, niscaya Rosid, si gondrong-kribo bakal melepaskan Del ia. Cara kerja yang terbilang gampang ketimbang kompleksitas persoalan yang muncul akibat senjangnya perbedaann antara Rosud dan Delia.

Sebagai kesinambungan dari novel pertama Ben Sohib (THE DAPECI COCLE, 2006), kecendrungan literer novel ini rasanya belum memperlihatkan sebuah kebaruan yang mencengangkan. Kalaupun ada gairah kebaruan, itu terlihat pada sisi keberanian pengarang dalam mendedahkan gagasan yang lebih besar. Ia tak lagi meniru-niru kecenderungan suspensif dengan mengacu pada novel-novel BEST-SELLER, tapi mulai membangun pijakan kisah yang mandiri, tanpa harus mengekor pada novel-novel laku.

Ramuan Bui Jabal Bui hanyalah modus yang ditempuh pengarang untuk memperlihatkan kekolotan cara berfikir kaum salafi-fundamentalis dalam menyikapi pelbagai masalah keislaman kontemporer yang semakin tak terhindarkan. Pencarian ramuan ajaib itu seperti menggambarkan semacam lelaku pelarian dari masalah yang sejatinya tidak bisa terselesaikan secara gampangan macam itu. Sementara itu, Rosid dan Delia yang terus memperjuangkan hubungan terlarang itu menikam semacam gairah perlawanan yang tiada kunjung padam terhadap ortodoksi keislaman dan kebetawian yang selama ini jarang diperbincangkan—meski telah banyak memunculkan masalah. Saya kira, di titik inilah pentingnya petualangan prosaik buku ini.

Namun, karena ekspektasi saya terlalu banyak terhadap novel ini—sebagaimana pengalaman baca saya terhadap prosa-prosa berlatar Betawi seperti TERANG BULAN TERANG DI KALI (SM.Ardan), CAMBANG JAKARTE (Firman Muntaco), dll—saya menemukan banyak sekali celah yang rasa-rasanya belum terisi. Barangkali karena pengarang begitu sibuk mengurus konflik segitiga antara Rosid, Delia, dan Mansur Al-Gibran yang begitu rinci dan kompleks sehingga ia abai menggarap karakter tokoh-tokoh lain yang sebenarnya juga berperan sangat penting dalam novel ini. Rodiyah misalnya, ia punya riwayat sendiri, utamanya riwayat perihal kegandrungannya pada laki-laki muda. Suami terakhirnya, yang memang kerap diungkap, namun kesannya seolah-olah tidak penting, hingga diberi nama pun tidak. Begitu juga dengan latar belakang keluarga Delia yang secara bulat-bulat juga menolak hubungan asmara anak gadisnya dengan Rosid bin Mansur Al-Gibran itu, juga tidak terolah dan terasah sebagaimana mestinya.

Bagaimana dengan prediksi "kemungkinan best-seller" yang termaktub di cover depan buku ini? Bagi saya, ini cukup menantang, sebab buku pertama (THE DAPECI CODE) pun menggunakan modus yang sama, dan ternyata perkiraan itu benar adanya. Konon, buku itu sudah mengalami berkali-kali cetak ulang, dan Ben Sohib menjadi "tajir" berkat buku itu. Saya berharap prediksi yang sama pada novel ROSID DAN DELIA ini juga tidak meleset, meski ramuan Bui Jabal Bui nyata-nyata tidak mempan, hanya tipu-daya dukun palsu belaka. Bul, bul, bul jabal bul...


Jakarta, 2008

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes