
KISAH HARI BERAT DAN MENGGUGAH
Buku ini menunjukkan betapa gigihnya ia mencoba bertahan hidup dan alasan di balik sikap kerasnya untuk menang dari kanker.
(Ruang Baca Koran Tempo, Agustus 2008)
Buku ini menunjukkan betapa gigihnya ia mencoba bertahan hidup dan alasan di balik sikap kerasnya untuk menang dari kanker.
(Ruang Baca Koran Tempo, Agustus 2008)
Malam menjelang pergantian tahun, 2003. Mulanya adalah sebuah makan sebagaimana biasanya.. Joan Didion menyiapkan perapian dan suaminya, John Gregory Dunne, duduk di kursi di ruang tamu, tempat biasa ia membaca. Mereka baru saja menjenguk putri tunggal mereka, Quintana, yang dirawat di lantai enam ruang intensif rumah sakit Berth Israel North. Mulanya flu lalu didiagnosis radang paru, lalu berkembang menjadi keracunan darah, Quintana kemudian koma, tepat sebelum mereka merayakan .
Makan malam diselingi obrolan tentang wiski dan Perang Dunia Pertama dan diskusi buku dan karya Didion, yang bekerja sebagai penulis, hingga beberapa menit kemudian John berubah lemas, jatuh tersungkur dengan tubuh membentur meja. Hanya beberapa saat setelah dilarikan ke rumah sakit, John menemui ajalnya. Selebihnya adalah sejarah.
Dua tahun setelah itu, Didion menuangkan hari-hari beratnya itu dalam memoar The Year Of Magical Thinking. Alih-alih menuangkan perjalanannya dalam kalimat yang sarat kesedihan dan perasaan sentimental, Didion memilih merekamnya serupa catatan harian yang dipenuhi istilah medis, yang dibalut pergolakan pikirannya saat itu. Kalimat-kalimatnya detail, bemas, cerdas, dan padat. Penggambaran yang nyaris datar tanpa keterlibatan emosi karena kemalangan yang datang bertubi-tubi itu justru yang menjadi kekuatan buku ini. Tidak heran ke tika baru diluncurkan, buku ini mendapat sambutan hangat di Amerika Serikat. :
Kemampuan Didion bertahan di tengah badai yang menerpanya itu mendatangkan pelajaran berharga bagi para pembacanya dan menjadi penyemangat bagi mereka yang tengah mengalami nasib serupa. Lewat buku ini, Didion juga meraih penghargaari National Book Award 2005.
Kehadiran buku Didion yang laris itu membangkitkan lagi kisah orang-orang yang bertahan menjalani dan melewati penderitaan hidupnya. Di pasar, buku jenis ini tidak sedikit. Sayang, jarang yang dituus dengan gaya yang menarik dan menggugah. Sebaliknya, sebagian besar buku bercerita dengan gaya seperti berkutbah dan menggurui, atau jika tidak, terlalu njelmet dalam membahas persoalan yang menyangkut penyakit.
Buku Randy Pausch kemudian hadir tahun ini mengisi ladang kering itu. Buku berjudul The Last Lecture itu menunjukkan bagaimana sebuah kisah pribadi bisa menggugah banyak orang. Buku itu awalnya adalah materi mata kuliah Pausch yang berjudul 'Really Achieving Your Childhood Dream atau Mewujudkan Impian Masa Kecil Anda.
Pausch kebanjiran lusinan surat elektronik dari berbagai perusahaan penerbitan. Itu terjadi setelah wartawan The Wall Street Journal, Jeff Zaslow, memuat kisah soal penderita kanker pankreas ini dan kuliahnya yang menggugah banyak orang.
Isi surat itu senada, yakni tawaran untuk menulis buku. Randy sebenarnya sudah lama rnemernikirkan semacam tulisan yang akan ia wariskan kepada ketiga anaknya setelah ia meninggal. Istri Randy, Jai, menyukai ide itu dan merasa penulisan buku akan membuat Randy lebih semangat untuk bertahan Hidup.Namun ia meminta aktivitas itu tak terlalu menyita waktu Randy bersama keluarga.
Randy memulai penulisan buku itu dengan meminta Zaslow sebagai partner yang membantunya menulis buku. Hasil kolaborasi mereka melahirkan buku yang barangkali satu-satunya yang ditulis sambil mengendarai sepeda. Setiap hari selama satu jam Randy bersepeda sambil mendiktekan isi buku kepada Jeff lewat telepon seluler. "Zeff sangat ahli menggali, banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkah oleh saya untuk ditulis," ujar Randy. "Ia penulis yang hebat, kalau saya sih payah untuk yang satu itu.”
Buku tersebut rampung awal tahun 2008 dan Randy memberikan hak penerbitannya pada Hyperion, anak perusahaan Disney di bidang penerbitan. Tidak heran kalau ia memilih penerbitan ini, pasalnya Randy telanjur jatuh cinta pada Disney dan Disneyland. Buku berjudul The Last Lecture ini dicetak sebanyak dua juta kopi dan langsung laris. Dalam bulan yang sama dengan penerbitannya, buku tersebut menjadi pemuncak daftar buku terlaris di Amerika Serikat
Ufuk Publishing House membeli hak penerbitan buku ini pada Juni lalu dan menerbitkan versi bahasa Indonesia pekan lalu. Menurut Direk tur Marketing Ufuk Ahmad Taufiq Hadad, cetakan pertama sebanyak 5.000 eksemplar sudah hampir habis. "Ini terbilang cepat, dalam waktu se minggu kami sudah harus menyiapkan cetakan keduanya," ujar Taufiq.
Meski buku ini berisi kisah hidup seorang yang asing bagi masyarakat Indonesia, Taufiq berpendapat pesan dalam buku ini bersifat universal sehingga bisa diterima pembaca di seluruh dunia. "Sederhana tapi pesannya benar-benar mengena," kata dia.
Misalnya soal keluarganya dan bagaimana mereka berjuang menghadapi kanker yang setiap tahun membunuh 33 ribu orang di Amerika Serikat itu. la merasa tak akan kuat menahan emosinya jika harus bicara soal keluarga di depan orang banyak, sementara dalam buku ini ia menceritakan kehidupan keluarga kecil Pausch yang berubah setelah ia divoris menderita kanker.
Tapi Pausch tak sekedar bersiap menghadapi kematian. Buku ini menunjukkan betapa gigihnya ia mencoba bertahan hidup dan alasan di balik sikap kerasnya untuk menang dari kanker. Ada banyak tips yang dibagikan pakar realitas virtual ini agar mereka yang berjuang melawan penyakit ganas seperti dirinya bisa mengisi hari-hari dengan keceriaan dan tidak kelewat terfokus pada penyakit.
Buku ini juga memuat kisah-kisah menggembirakan sekaligus memilukan di balik kuliah umum Pausch yang rekamannya diunduh enam juta orang di seluruh dunia. Randy, bercerita betapa tak mudah baginya menerima tawaran menyampaikan kuliah meski ia sendiri sangat berminat membagikan pemikirannya sebelum ajal menjemput.
Sosok Pausch yang bugar, segar, dan penuh humor saat menyampaikan kuliah sangat bertolak belakang dengan kesedihannya karena harus melewatkan ulang tahun istrinya yang mungkin tak sempat lagi dirayakan. Beberapa saat sebelum memulai kuliahnya, efek samping kemoterapi juga menyerangnya. Sulit memang untuk tak terharu ketika Pausch membahas kisah cintanya dengan Jai dan hari-hari yang ia habiskan mengamati pertumbuhan anaknya Dylan, Logan, dan Chloe.
Berbeda dengan Pausch yang tak mau mengumbar soal penyakitnya, Dahlan Iskan justru menceritakan soal sakit dan operasi yang dijalaninya secara blak-blakan. Proses yang ia istilahkan sebagai "turun mesin" itu dituangkan ke dalam buku Ganti Hati yang diterbitkan oleh JP Books.
Sakit pemimpin Grup Jawa Pos ini berawal dari kanker pada liver. Kanker itu merusak fungsi liver yang memunculkan efek domino pembesaran limpa sehingga proses daur ulang sel darah mati tak berjalan dan munculnya semacam varieses pada pembuluh darah di seluruh saluran pencernaan. Perdarahan bisa terjadi kapan saja, karena itu hidup yang yang lahir pada 1951 ini ditaksir tinggal tiga tahun saja.
Dalam buku ini Dahlan menjelaskan penyebab sakitnya dan alasan ia memutuskan menjalani transplantansi liver. Ia juga menguraikan persiapannya menuju operasi transplantasi dan jalannya proses pencangkokan itu sendiri
Cerita yang ditulis wartawan senior ini dikemas dalam dalam 32 artikel singkat antara lima sampai tujuh halaman saja yang pemah dimuat di harian Jawa Pos. Ini membuat buku setebal 328 halaman itu bisa dilahap dengan mudah apalagi Dahlan menulisnya dengan santai dan jenaka.
Ketika luka operasi membuat sebagian orang gelisah, pria asal Magetan, Jawa Timur, ini justru membahas bekas jahitan mirip simbol mobil Mercedes Benz itu dengan canda. "Kini saya punya dua Mercy, yang satu seri S500 seharga Rp 3 miliar, satunya lagi Mercy di kulit perut saya, tidak tahu seri berapa tapi kira-kira sama harganya," tulis Dahlan dalam bukunya. .
Seperti ditulis dalam bukunya, Dahlan mengungkapkan kalau ia tak suka menun¬jukkan sakitnya kepada orang banyak kare¬na itu ia menceritakan dengan cara yang ti¬dak membuat orang iba. Kuncinya, kata dia, menceritakan dengan cara yang menyenangkan.
Meski diulas secara jenaka kengerian dari penyakit dan operasi tak dapat ditutupi, apalagi proses pencangkokan organ tubuh tak selalu berjalan mulus. Dahlan menyinggung soal operas! transplantasi cendekiawan Nurcholish Madjid yang tak sukses. Sempat pula muncul kekhawatiran proses cangkok organ tak sukses ketika badan Dahlan membengkak dan wajahnya menghitam.
Cerita Dahlan yang apa adanya ini menarik perhatian banyak orang dan mereka yang merasa terinspirasi dengan semangat Dahlan mengirimkan surat elektronik dan pesan singkat yang juga dimuat dalam bagian akhir buku ini. Bertahun-tahun sebelum itu, kisah hidup penulis muda Gola Gong juga memikat hati banyak orang. Dengan kruk yang menyangga satu kakinya, ia dengan gagah perkasa bertualang dan menemukan kekuatan hidupnya lewat dunia menulis. Kisah-kisah pencandu narkoba yang lepas dari jerat masa lalunya juga tidak kurang banyaknya.
Sayangnya, di luar sana, di rak-rak di toko buku, bisa dihitung dengan jari kisah kisah menggugah yang ditulis dengan menyenangkan. Padahal orang yang bergelut dengan penyakit ganas merasa buku-buku ini bisa membantu mereka" melewati masa-masa sulit. "Kalau saja dulu ada buku yang menceritakan soal penderita kanker, pasti penderitanya tak akan melakukan banyak kebodohan," ujar Ani, perempuan berusia 31 tahun yang baru saja memenangi pertarungan dua tahun melawan kanker payudara. Ia memutuskan menulis buku tentang penderitaannya agar orang bisa bersiap menghadapi kanker seperti yang diidapnya
Makan malam diselingi obrolan tentang wiski dan Perang Dunia Pertama dan diskusi buku dan karya Didion, yang bekerja sebagai penulis, hingga beberapa menit kemudian John berubah lemas, jatuh tersungkur dengan tubuh membentur meja. Hanya beberapa saat setelah dilarikan ke rumah sakit, John menemui ajalnya. Selebihnya adalah sejarah.
Dua tahun setelah itu, Didion menuangkan hari-hari beratnya itu dalam memoar The Year Of Magical Thinking. Alih-alih menuangkan perjalanannya dalam kalimat yang sarat kesedihan dan perasaan sentimental, Didion memilih merekamnya serupa catatan harian yang dipenuhi istilah medis, yang dibalut pergolakan pikirannya saat itu. Kalimat-kalimatnya detail, bemas, cerdas, dan padat. Penggambaran yang nyaris datar tanpa keterlibatan emosi karena kemalangan yang datang bertubi-tubi itu justru yang menjadi kekuatan buku ini. Tidak heran ke tika baru diluncurkan, buku ini mendapat sambutan hangat di Amerika Serikat. :
Kemampuan Didion bertahan di tengah badai yang menerpanya itu mendatangkan pelajaran berharga bagi para pembacanya dan menjadi penyemangat bagi mereka yang tengah mengalami nasib serupa. Lewat buku ini, Didion juga meraih penghargaari National Book Award 2005.
Kehadiran buku Didion yang laris itu membangkitkan lagi kisah orang-orang yang bertahan menjalani dan melewati penderitaan hidupnya. Di pasar, buku jenis ini tidak sedikit. Sayang, jarang yang dituus dengan gaya yang menarik dan menggugah. Sebaliknya, sebagian besar buku bercerita dengan gaya seperti berkutbah dan menggurui, atau jika tidak, terlalu njelmet dalam membahas persoalan yang menyangkut penyakit.
Buku Randy Pausch kemudian hadir tahun ini mengisi ladang kering itu. Buku berjudul The Last Lecture itu menunjukkan bagaimana sebuah kisah pribadi bisa menggugah banyak orang. Buku itu awalnya adalah materi mata kuliah Pausch yang berjudul 'Really Achieving Your Childhood Dream atau Mewujudkan Impian Masa Kecil Anda.
Pausch kebanjiran lusinan surat elektronik dari berbagai perusahaan penerbitan. Itu terjadi setelah wartawan The Wall Street Journal, Jeff Zaslow, memuat kisah soal penderita kanker pankreas ini dan kuliahnya yang menggugah banyak orang.
Isi surat itu senada, yakni tawaran untuk menulis buku. Randy sebenarnya sudah lama rnemernikirkan semacam tulisan yang akan ia wariskan kepada ketiga anaknya setelah ia meninggal. Istri Randy, Jai, menyukai ide itu dan merasa penulisan buku akan membuat Randy lebih semangat untuk bertahan Hidup.Namun ia meminta aktivitas itu tak terlalu menyita waktu Randy bersama keluarga.
Randy memulai penulisan buku itu dengan meminta Zaslow sebagai partner yang membantunya menulis buku. Hasil kolaborasi mereka melahirkan buku yang barangkali satu-satunya yang ditulis sambil mengendarai sepeda. Setiap hari selama satu jam Randy bersepeda sambil mendiktekan isi buku kepada Jeff lewat telepon seluler. "Zeff sangat ahli menggali, banyak hal yang sebelumnya tak terpikirkah oleh saya untuk ditulis," ujar Randy. "Ia penulis yang hebat, kalau saya sih payah untuk yang satu itu.”
Buku tersebut rampung awal tahun 2008 dan Randy memberikan hak penerbitannya pada Hyperion, anak perusahaan Disney di bidang penerbitan. Tidak heran kalau ia memilih penerbitan ini, pasalnya Randy telanjur jatuh cinta pada Disney dan Disneyland. Buku berjudul The Last Lecture ini dicetak sebanyak dua juta kopi dan langsung laris. Dalam bulan yang sama dengan penerbitannya, buku tersebut menjadi pemuncak daftar buku terlaris di Amerika Serikat
Ufuk Publishing House membeli hak penerbitan buku ini pada Juni lalu dan menerbitkan versi bahasa Indonesia pekan lalu. Menurut Direk tur Marketing Ufuk Ahmad Taufiq Hadad, cetakan pertama sebanyak 5.000 eksemplar sudah hampir habis. "Ini terbilang cepat, dalam waktu se minggu kami sudah harus menyiapkan cetakan keduanya," ujar Taufiq.
Meski buku ini berisi kisah hidup seorang yang asing bagi masyarakat Indonesia, Taufiq berpendapat pesan dalam buku ini bersifat universal sehingga bisa diterima pembaca di seluruh dunia. "Sederhana tapi pesannya benar-benar mengena," kata dia.
Misalnya soal keluarganya dan bagaimana mereka berjuang menghadapi kanker yang setiap tahun membunuh 33 ribu orang di Amerika Serikat itu. la merasa tak akan kuat menahan emosinya jika harus bicara soal keluarga di depan orang banyak, sementara dalam buku ini ia menceritakan kehidupan keluarga kecil Pausch yang berubah setelah ia divoris menderita kanker.
Tapi Pausch tak sekedar bersiap menghadapi kematian. Buku ini menunjukkan betapa gigihnya ia mencoba bertahan hidup dan alasan di balik sikap kerasnya untuk menang dari kanker. Ada banyak tips yang dibagikan pakar realitas virtual ini agar mereka yang berjuang melawan penyakit ganas seperti dirinya bisa mengisi hari-hari dengan keceriaan dan tidak kelewat terfokus pada penyakit.
Buku ini juga memuat kisah-kisah menggembirakan sekaligus memilukan di balik kuliah umum Pausch yang rekamannya diunduh enam juta orang di seluruh dunia. Randy, bercerita betapa tak mudah baginya menerima tawaran menyampaikan kuliah meski ia sendiri sangat berminat membagikan pemikirannya sebelum ajal menjemput.
Sosok Pausch yang bugar, segar, dan penuh humor saat menyampaikan kuliah sangat bertolak belakang dengan kesedihannya karena harus melewatkan ulang tahun istrinya yang mungkin tak sempat lagi dirayakan. Beberapa saat sebelum memulai kuliahnya, efek samping kemoterapi juga menyerangnya. Sulit memang untuk tak terharu ketika Pausch membahas kisah cintanya dengan Jai dan hari-hari yang ia habiskan mengamati pertumbuhan anaknya Dylan, Logan, dan Chloe.
Berbeda dengan Pausch yang tak mau mengumbar soal penyakitnya, Dahlan Iskan justru menceritakan soal sakit dan operasi yang dijalaninya secara blak-blakan. Proses yang ia istilahkan sebagai "turun mesin" itu dituangkan ke dalam buku Ganti Hati yang diterbitkan oleh JP Books.
Sakit pemimpin Grup Jawa Pos ini berawal dari kanker pada liver. Kanker itu merusak fungsi liver yang memunculkan efek domino pembesaran limpa sehingga proses daur ulang sel darah mati tak berjalan dan munculnya semacam varieses pada pembuluh darah di seluruh saluran pencernaan. Perdarahan bisa terjadi kapan saja, karena itu hidup yang yang lahir pada 1951 ini ditaksir tinggal tiga tahun saja.
Dalam buku ini Dahlan menjelaskan penyebab sakitnya dan alasan ia memutuskan menjalani transplantansi liver. Ia juga menguraikan persiapannya menuju operasi transplantasi dan jalannya proses pencangkokan itu sendiri
Cerita yang ditulis wartawan senior ini dikemas dalam dalam 32 artikel singkat antara lima sampai tujuh halaman saja yang pemah dimuat di harian Jawa Pos. Ini membuat buku setebal 328 halaman itu bisa dilahap dengan mudah apalagi Dahlan menulisnya dengan santai dan jenaka.
Ketika luka operasi membuat sebagian orang gelisah, pria asal Magetan, Jawa Timur, ini justru membahas bekas jahitan mirip simbol mobil Mercedes Benz itu dengan canda. "Kini saya punya dua Mercy, yang satu seri S500 seharga Rp 3 miliar, satunya lagi Mercy di kulit perut saya, tidak tahu seri berapa tapi kira-kira sama harganya," tulis Dahlan dalam bukunya. .
Seperti ditulis dalam bukunya, Dahlan mengungkapkan kalau ia tak suka menun¬jukkan sakitnya kepada orang banyak kare¬na itu ia menceritakan dengan cara yang ti¬dak membuat orang iba. Kuncinya, kata dia, menceritakan dengan cara yang menyenangkan.
Meski diulas secara jenaka kengerian dari penyakit dan operasi tak dapat ditutupi, apalagi proses pencangkokan organ tubuh tak selalu berjalan mulus. Dahlan menyinggung soal operas! transplantasi cendekiawan Nurcholish Madjid yang tak sukses. Sempat pula muncul kekhawatiran proses cangkok organ tak sukses ketika badan Dahlan membengkak dan wajahnya menghitam.
Cerita Dahlan yang apa adanya ini menarik perhatian banyak orang dan mereka yang merasa terinspirasi dengan semangat Dahlan mengirimkan surat elektronik dan pesan singkat yang juga dimuat dalam bagian akhir buku ini. Bertahun-tahun sebelum itu, kisah hidup penulis muda Gola Gong juga memikat hati banyak orang. Dengan kruk yang menyangga satu kakinya, ia dengan gagah perkasa bertualang dan menemukan kekuatan hidupnya lewat dunia menulis. Kisah-kisah pencandu narkoba yang lepas dari jerat masa lalunya juga tidak kurang banyaknya.
Sayangnya, di luar sana, di rak-rak di toko buku, bisa dihitung dengan jari kisah kisah menggugah yang ditulis dengan menyenangkan. Padahal orang yang bergelut dengan penyakit ganas merasa buku-buku ini bisa membantu mereka" melewati masa-masa sulit. "Kalau saja dulu ada buku yang menceritakan soal penderita kanker, pasti penderitanya tak akan melakukan banyak kebodohan," ujar Ani, perempuan berusia 31 tahun yang baru saja memenangi pertarungan dua tahun melawan kanker payudara. Ia memutuskan menulis buku tentang penderitaannya agar orang bisa bersiap menghadapi kanker seperti yang diidapnya
No comments:
Post a Comment