
GADIS RIYADH MENCARI CINTA
Jatuh-bangun mencari cinta, keempat sahabat ini tak kapok mencari cinta platonik mereka. Beragam cara, jalan, dan jalur mereka tempuh untuk mencari tambatan hati. Sampai pada satu titik, intervensi yang luar biasa dari keluarga besar menghancurkan semua bangunan cinta yang dibangun perlahan-lahan (Koran Tempo, Maret 2008)
Kalau saja lokasi ceritanya bukan di Arab Saudi, novel ini pasti sudah masuk ranah novel chicklit biasa . Garis besar ceritanya tak jauh-jauh dari kisah gadis-gadis dari keluarga makmur di awal usia 20-an tahun, yang mengejar pendidikan tinggi, karier, dan cinta sejati. Apalagi ketika tahu penulisnya perempuan, saya sudah berprasangka duluan, novel ini pastilah sangat girly.
Tapi, karena sepak terjang tokoh-tokoh novel itu berlangsung di Arab Saudi — yang terinspirasi oleh ide Muhammad bin Atadul Wahhab (1703-1792) dalam menegakkan Islam di setiap laku bernegara dan bermasyarakat— karya perdana Al-Sanea ini menggoda lebih dari chicklit populer. Kisahnya pun diadopsi dari kisah nyata empat sobat Al-Sanea dengan nama yang disamarkan.
Cerita dalam The Girls of Riyadh pertama kali beredar di Internet pada 2004. Setiap pekan, sehabis salat Jumat, Al-Sanea mengirim surat elektronik bersambung kepada teman-teman dunia mayanya. Pada 2005 rangkaian tulisan tentang empat sahabat tersebut dikumpulkan menjadi sebuah novel berbahasa Arab yang membuat marah penguasa Kerajaan Saudi.
Empat gadis Riyadh itu adalah Qamrah, Shedim, Michelle, dan Lumeis. Keempat perempuan rupawan ini adalah sahabat dalam suka dan duka. Qamrah dan Shedim berteman sejak kelas II SD. Saat kelas II SMA, mereka mendapat teman baru bernama Michelle alias Masya'il, yang beribu orang Amerika. Karena kendala bahasa, Michelle pindah ke sekolah internasional dan berkenalan dengan Lumeis.
Empat sekawan ini bukanlah gadis-gadis yang sangat saleh. Sedikit alkohol di malam "pesta bujang" Qamrah bukan masalah buat mereka. Di antara mereka, Qamrahlah yang paling dulu menikah dengan pria pilihan keluarganya, Rasyid, mahasiswa program doktoral teknik elektronika di San Francisco, Amerika. Meski tanpa cinta, ia bertekad meninggalkan kuliahnya demi mengabdikan hidup untuk sang suami.
Dalam "pesta bujang" itu, Michelle berkenalan dengan pria tampan bernama Faishal. Tak lama setelah Qamrah menikah, Shedim dilamar oleh Walid, pegawai eselon II. Akan halnya Lumeis, dimasa magang kuliahnya di kedokteran umum di rumah sakit di Jeddah, bertemu dengan sesama peserta magang dari kampus lain, Nizar, Tak sampai tiga bulan berkenalan, Nizar melamar Lumeis.
Namun, satu per satu kisah cinta mereka runtuh dihantam badai. Selingkuh, kawin paksa, tidak direstui keluarga, pria yang tidak punya sikap, dan perbedaan pemahaman agama menjadi sebab padamnya lilin cinta mereka. Al-Sanea menggerutu, ”Di masyarakatku, perempuan tidak lebih dari sebuah titik ketundukan dan kepasrahan. Para penghuni gardu-gardu keterbatasan.”
Lewat keempat tokoh ini, Al-Sanea menumpahkan pula keluh-kesahnya. Bahwa bagi perempuan-perempuan, perkawinan adalah kematian bagi kebebasan, kreativitas, dan persahabatan. Perkawinan adalah kesedihan, sesal, dan dukacita. Karena itu, masing-masing berharap menjadi orang yang terakhir menyusul Qamrah.
Jatuh-bangun mencari cinta, keempat sahabat ini tak kapok mencari cinta platonik mereka. Beragam cara, jalan, dan jalur mereka tempuh untuk mencari tambatan hati. Sampai pada satu titik, intervensi yang luar biasa dari keluarga besar menghancurkan semua bangunan cinta yang dibangun perlahan-lahan.
Dalam perjalanan penuh keprihatinan, seorang dari mereka akhirnya menemukan bahwa tidak selalu perlu cinta untuk memutuskan menerima orang lain. Juga tidak harus selalu orang "nomor satu" yang menjadi pendamping hidup, ia harus puas bersanding dengan lelaki yang "lebih rendah".
Kalau sudah begini, jalan manakah yang benar? Jalan yang membawa ke menara kebahagiaan. Cinta yang menggebu-gebu, penuh hasrat, ataukah cinta yang tumbuh pelan-pelan dari biji yang disemai ? Keduanya tidak salah. Shedim menemukan jawabannya dan Lumeis juga.
Benarlah kiranya buah kata penyair kontemporer Suriah, Nizar Qabbani (1923-1998), "Kalau kutahu cinta itu berbahaya sekali, ku tak akan mencinta. Kalau kutahu laut itu dalam sekali, aku tidak akan melaut. Kalau kutahu akhir semua kisah, takkan mungkin kumulai merajutnya.”
Tapi, karena sepak terjang tokoh-tokoh novel itu berlangsung di Arab Saudi — yang terinspirasi oleh ide Muhammad bin Atadul Wahhab (1703-1792) dalam menegakkan Islam di setiap laku bernegara dan bermasyarakat— karya perdana Al-Sanea ini menggoda lebih dari chicklit populer. Kisahnya pun diadopsi dari kisah nyata empat sobat Al-Sanea dengan nama yang disamarkan.
Cerita dalam The Girls of Riyadh pertama kali beredar di Internet pada 2004. Setiap pekan, sehabis salat Jumat, Al-Sanea mengirim surat elektronik bersambung kepada teman-teman dunia mayanya. Pada 2005 rangkaian tulisan tentang empat sahabat tersebut dikumpulkan menjadi sebuah novel berbahasa Arab yang membuat marah penguasa Kerajaan Saudi.
Empat gadis Riyadh itu adalah Qamrah, Shedim, Michelle, dan Lumeis. Keempat perempuan rupawan ini adalah sahabat dalam suka dan duka. Qamrah dan Shedim berteman sejak kelas II SD. Saat kelas II SMA, mereka mendapat teman baru bernama Michelle alias Masya'il, yang beribu orang Amerika. Karena kendala bahasa, Michelle pindah ke sekolah internasional dan berkenalan dengan Lumeis.
Empat sekawan ini bukanlah gadis-gadis yang sangat saleh. Sedikit alkohol di malam "pesta bujang" Qamrah bukan masalah buat mereka. Di antara mereka, Qamrahlah yang paling dulu menikah dengan pria pilihan keluarganya, Rasyid, mahasiswa program doktoral teknik elektronika di San Francisco, Amerika. Meski tanpa cinta, ia bertekad meninggalkan kuliahnya demi mengabdikan hidup untuk sang suami.
Dalam "pesta bujang" itu, Michelle berkenalan dengan pria tampan bernama Faishal. Tak lama setelah Qamrah menikah, Shedim dilamar oleh Walid, pegawai eselon II. Akan halnya Lumeis, dimasa magang kuliahnya di kedokteran umum di rumah sakit di Jeddah, bertemu dengan sesama peserta magang dari kampus lain, Nizar, Tak sampai tiga bulan berkenalan, Nizar melamar Lumeis.
Namun, satu per satu kisah cinta mereka runtuh dihantam badai. Selingkuh, kawin paksa, tidak direstui keluarga, pria yang tidak punya sikap, dan perbedaan pemahaman agama menjadi sebab padamnya lilin cinta mereka. Al-Sanea menggerutu, ”Di masyarakatku, perempuan tidak lebih dari sebuah titik ketundukan dan kepasrahan. Para penghuni gardu-gardu keterbatasan.”
Lewat keempat tokoh ini, Al-Sanea menumpahkan pula keluh-kesahnya. Bahwa bagi perempuan-perempuan, perkawinan adalah kematian bagi kebebasan, kreativitas, dan persahabatan. Perkawinan adalah kesedihan, sesal, dan dukacita. Karena itu, masing-masing berharap menjadi orang yang terakhir menyusul Qamrah.
Jatuh-bangun mencari cinta, keempat sahabat ini tak kapok mencari cinta platonik mereka. Beragam cara, jalan, dan jalur mereka tempuh untuk mencari tambatan hati. Sampai pada satu titik, intervensi yang luar biasa dari keluarga besar menghancurkan semua bangunan cinta yang dibangun perlahan-lahan.
Dalam perjalanan penuh keprihatinan, seorang dari mereka akhirnya menemukan bahwa tidak selalu perlu cinta untuk memutuskan menerima orang lain. Juga tidak harus selalu orang "nomor satu" yang menjadi pendamping hidup, ia harus puas bersanding dengan lelaki yang "lebih rendah".
Kalau sudah begini, jalan manakah yang benar? Jalan yang membawa ke menara kebahagiaan. Cinta yang menggebu-gebu, penuh hasrat, ataukah cinta yang tumbuh pelan-pelan dari biji yang disemai ? Keduanya tidak salah. Shedim menemukan jawabannya dan Lumeis juga.
Benarlah kiranya buah kata penyair kontemporer Suriah, Nizar Qabbani (1923-1998), "Kalau kutahu cinta itu berbahaya sekali, ku tak akan mencinta. Kalau kutahu laut itu dalam sekali, aku tidak akan melaut. Kalau kutahu akhir semua kisah, takkan mungkin kumulai merajutnya.”
No comments:
Post a Comment