Friday, February 01, 2008


NEGARA DI BAWAH KUNGKUNGAN IMF

Buku ini juga menyoroti bagaimana terjadinya metamorfosis Majelis Amanat Rakyat (MARA)- yang didirikan Amien beserta cendikawan reformis, seperti Faisal Basri, Arbi Sanit, dan Muchtar Pabotinggi menjadi Partai Amanat Nasional (PAN), sebagai keberhasilan Amerika dan CIA-nya mengandangkan kaum reformis ke dalam wadah partai sehingga kekuatannya tidak lagi tanpa batas (Investor Daily, Januari 2008)



Membaca buku yang ditulis rekan saya (Ishah Rafick) ini. asanya seperti membaca novel yang sangat sayang bila tidak dituntaskan segera. Karirnya sebagai jurnalis membuktikan betapa mengalir dan derasnya tulisan Ishak dalam mengulas permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi bangsa ini. Bukan saja fakta dan analisis yang dikemukakan, seolah lembaran gambar yang mudah dilihat dan dirasa.

Buku yang diklaim penulis sebagai hasil investigasi secara keseluruhan menunjukkan betapa rapuhnya dan dependnya republik ini dalam hal kebijakan di bidang ekonomi dan politik. Terutama dalam menghadapi tindakan dari kolonialisme modern yang bernama IMF dan negara-negara kapi­talis.

Dengan bahasa yang santun penulis memaparkan bagaimana peran dan kokohnya IMF dalam menata negeri ini dengan menempatkan antek-anteknya yang dikenal dengan Mafia Barckley untuk menduduki posisi strategis. Seperti menteri keuangan dan menteri BUMN.

Dalam beberapa bab, selain memaparkan, penulis juga mengritik dan membandingkan kebijakan antarsatu presiden dengan presiden lainnya. Termasuk pemaparan bagaimana IMF tidak segan melanggar etika politik dengan menginterfensi keputusan presiden satu negara, contohnya saat Presiden Abdurrahman Wahid, Henry Fisher Direktur IMF tidak malu meminta Gus Dur untuk memutus urat dana IPTN dan Texmaco. Sementara 27 proyek listrik swasta di mana perusahaan MNC ikut terlibat masih boleh jalan terus.

Hal yang sama dilakukan Duta Besar AS di Indonesia meminta secara halus agar Menkeu saat itu - Bambang Sudibyo tidak mengganti Kepala BPPN GlennMSYusuf. (Halaman 346, Tekanan Dunia Luar Terhadap Gus Dur)

Buku ini juga memaparkan dengan tegas bagaimana peran IMF dalam memberikan jalan mulus bagi multi nasional corporation melahap semua kekayaan milik rakyat. Semua strategi itu dirumuskan dalam Lol yang me-muat 51 item juklak yang harus dijalankan pemerintah. Dalam buku ini penulis mengistilahkan dengan GBHN Super dari Bawah Meja IMF, yang intinya kebijakan itu menyerahkan negara kepada asing (hal 123-125).

Yang juga sangat menarik, isi LOI itu, sepertinya menyediakan kuburan bagi rakyat dan memberikan jalan bebas hambatan bagi asing untuk menguasai semua kekayaan yang ada di republik ini. Anehnya kebijakan IMF ini, menurut penulis ditanggapi pemerintah bak memberi karpet merah bagi asing yang memangsa semua perusahaan BUMN maupun swasta yang memang sedang dililit utang dengan harga yang jauh sangat murah
Semua pimpinan yang pernah menampuk jabatan presiden melakukan semua itu. ketimbang membela kepentingan rakyat. Dan hasilnya, terbukti saat ini, semua bank besar sudah dikuasai asing.

Dalam buku ini, begitu gamblang diungkapkan kasus-kasus bagaimana pihak IMF, asing, dan para kapitalis menguasai kekayaan yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh, bagaimana SBY dengan mudahnya memberikan Blok Cepu ke tangan Exxon Mobil Corpora­tion, sekalipun Pertamina bersikeras menolak. Yang ada justru direktur utama Pertamina menjadi korban dipecat, satu hari sebelum Menlu AS, Condoleza Rice tiba di Jakarta, (hal 24).

Penulis juga mengupas bagaimana penderitaan rakyat atas kebijakan yang diambil pemerintah, terutama dalam restrukturisasi perbankan. Mulai dari bagaimana utang para konglomerasi senilai Rp 600 triliun akibat restrukturisasi perbankan, yang kemudian diubah menjadi utang rakyat. Dilanjutkan kemudian langkah IMF memaksa pemerintah menjual bank-bank, salah satunya Bank BCA yang telah menelan dana pemerintah Rp 58 triliun dan pembelinya kemudiaan menikmati bunga obligasi rekap.

Visi Kerakyatan yang Dibungkam

Keberanian pemerintah hanya tampak pada masa Habibie yang hanya berkuasa 512 hari

Dua menteri saat itu, Meneg BUMN Tanri Abeng dan Menteri Koperasi Adi Sasono berani mengabaikan APBN bawah meja susunan Lol IMF. Ketika Habibie berkuasa dan tampuk kepemimpinan BUMN di tangan Tanri, telah berhasil menjalankan kebijakan reformasi BUMN.

Sekalipun IMF rnenekan agar BUMN segera dilepas, Tanri selaku menteri yang telah berpengaiaman mengendalikan perusahaan multinasional, dengan tegas menolak. Alasannya, BUMN harus direstrukturisasi dulu hingga memiliki daya saing, selain itu harus profit kepada Negara, setelah itu baru bisa dilepas (hal 243).

Lain lagi yang dijalankan Adi Sasono. Dalam sub judul Merajut ekonomi Ke­rakyatan (hal 244), menteri yang telah berkecimpung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat berhasil menggagas dan menjalankan program ekonomi kerakyatan di luar skenario IMF.

Karena itu, untuk memberdayakan ekonomi rakyat, Adi meminta pemerin­tah menyisihkan anggaran Rp 10 tri­liun untuk pendirian Lembaga Permodalan Nasional Madani (LPMN) yang kemudian hingga kini bernama PNM. Adi beralasan, jika untuk restrukturisasi perbankan ratusan triliun IMF mendorong, kenapa untuk rakyat yang hanya 1/3-nya saja dipermasalahkan ? Akhirnya PNM pun berdiri dengan modalnya pun diciutkan hanya sepersepuluhnya dari rencana Rp 10 triliun.

Adi pun saat itu. berhasil memaksa pemerintah menyediakan dana Rp 10,8 triliun untuk kredit pengusaha kecil dan koperasi, dan bunganya pun hanya ditetapkan 10-15%, saat itu bunga komesial 37%. Tidak sampai di situ untuk benar-benar membangun ekonomi rakyat, Adi berencana membangun Pos Ekonomi Rakyat (PER) di 4.721 kecamatan yang ada di Indonesia,

Jelas saja langkah ini mendapat kritikan tajam, bukan saja dari IMF, tapi juga pengamat dan pelaku bisnis konglomerasi di Indonesia
Berbagai opini negatlf terhadap kebijakan Adi Sasono, mulai dari pengamat dan pe­laku bisnis konglomerasi di bawah komando Sofyan Wanandi, jubir Kelompok Jimbaran (kelompok konglomerat masa Soeharto), diciptakan. Hingga majalah kelas dunia Far Eastern Eco­nomic Review (PEER) menjuluki Adi Sasono sebagai 'The most dangerous man', (hal 248).

Ekonomi kerakyatan dianggap seba­gai upaya untuk memusuhi pengusaha besar. Dan pengamat sekelas Sri Mulyani dan Elka Pangestu menilai pemberian kredit murah kepada usaha kecil dan koperasi dianggap sebagai upaya menghambur-hamburkan uang. Menurut mereka untuk memberdayakan rakyat, telebih dahulu harus mempriorotaskan peningkatan SDM. Anehnya ketika sang pengamat menjadi Menteri Keuangan saat ini, justu kebijakan yang dinilai negatif itu malah dijalankan. Seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tanpa tahu sasaran dan hasilnya untuk pemberdayaan ekonomi. Selain itu juga, ternyata APBN di bawah susunan Ani panggilan Sri Mulyani hanya menganggarkan dana pendidikan 9% atau Rp 34 triliun, padahal TAP MPR menetapkan 20%. Ani justru malah berani menganggarkan dana untuk bayar utang IMF dan lembaga donor lainnya Rp 140,22 triliun (hal 257).
Kaum Reformis Tertunggangi

Dalam buku ini penulis juga menyoroti bidang politik, terutama bagaimana peran kaum reformis yang akhirnya kandas di tengah jalan dan tak memiliki arah. Amien Rais yang dinilai penulis sebagai tokoh reformis ternyata tidak bisa memanfaatkan runtuhnya orde baru dengan tampil sebagai pemimpin. Dalam pandangan penulis, hampir semua pemimpin reformasi di berbagai Negara, setelah berhasil menurunkan penguasa tampil mengendalikan pemerintahan. Bagaimana Khomaini ketika menjatuhkan Reza Pahlevi, Qorazzon Aquino tampil ketika menggulingkan Marcos, dan banyak lagi.

Tahu betapa posisi Amien dapat menjadi ancaman bagi pengusaha konglomerat, IMF, dan MNC lainnya, terutama untuk kepentingan bisnis AS di Indonesia, kaki tangan kapitalis memainkan perannya. Maklum Amien dalam orasinya kerap mengancam un­tuk
meninjau kembali kontrak-kontrak pertambangan yang dikuasai asing terutama Freeport. Dibandingkan Amien, Gus Dur menurut penulis lebih meyakinkan kaum kapitalis dan Amerika, apalagi keterlibatannya dalam Yayasan Simon Peres

Buku ini juga menyoroti bagaimana terjadinya metamorfosis Majelis Amanat Rakyat (MARA)- yang didirikan Amien beserta cendikawan reformis, seperti Faisal Basri, Arbi Sanit, dan Muchtar Pabotinggi menjadi Partai Amanat Nasional (PAN), sebagai keberhasilan Amerika dan CIA-nya mengandangkan kaum reformis ke dalam wadah partai sehingga kekuatannya tidak lagi tanpa batas.

Setelah mengetahui persoalan struktural yang dihadapi negara ini, penulis seolah mengajak pembaca memahami, merenung, dan bersimpati terhadap keadaan republik ini, di mana dari lima presiden yang pernah ada, tidak satu pun yang berani mengambil tindakan yang berpihak kepada rakyat, termasuk presiden SBY-JK yang saat ini berkuasa.

Buku ini layak dibaca para pelajar, mahasiswa, kaum cendikiawan, para politikus (DPR, DPRD, DPD dan MPR) pengusaha, petinggi negara, serta pengambil keputusan, karena merekalah yang akan menentukan nasib bangsa ini ke depan

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes