Sunday, February 03, 2008


CENGKRAMAN NEOLIBERALISME


Banyak analisis menyimpulkan, krisis terjadi ka­rena Indonesia terjebak kondisi Fisher Paradox, yaitu situasi di mana makin Indo­nesia melunasi pembayaran utang luar negeri beserta cicilan bunganya, makin banyak utang luar negeri nya (Seputar Indonesia, Februari 2008)


Indonesia gagal lepas landas.Tak satu pun Presiden sejak era Orba sukses menuntun Indo­nesia dalam percaturan politik dan ekonomi. Sejak krisis, perekonomian In­donesia belum sepenuhnya menggeliat. Bahkan hingga kini, kehidupan rakyatnya terus ter-puruk. PadahaL raison d'etre (alasan adanya) negara adalah mewirjudkah eudaimonia, kebahagiaan. Itu berarti, pemerintahan Indonesia bertanggung jawab mempersembahkan kesejahteraan bagi warganya dengan merancang pembangunan yang mengabdi kepada rakyat, Pertanyaannya, kendati telah beberapa kali mengalami pergantian kekuasaan, mengapa kemajuan bangsa tak kunjung tercapai ?

Kegagalan lima Presiden da lam mengantar Indonesia menuju tinggal landas, adalah tema utama yang disorot jurnalis Majalah GlobeAsia, Ishak Rafick, dalam bukunya, Catalan Hitam Lima Presiden Indonesia : Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia. la juga mengungkap pangkal penyebab kehancuran ekonomi Indo­nesia, sekaligus menawarkan altematif jalan baru guna membangun Indonesia agar tidak makin tertinggal dari negara Asia lainnya. Gugatannya soal ketidakberdayaan para Presiden dalam mempertahankan kedaulatan dari penetrasi IMF, juga dikupas dalam buku ini.


SuperioritasIMF

Francis Fukuyama menyatakan, dunia tengah memasuki akbir sejarah yang ditandai oleh tampilnya liberalisme sebagai the winner yang menggungguli sosialisme dalam revitalisasi ideologjs sepanjang setengah abad. Inilah akhir dari sejarali, di mana kapitalisme dan demokrasi dianggap sebagai solusi terbaik guna memecahkan aneka masalah. Kapitalisme mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Demokrasi bermanfaat mengontrol negara agar tidak korup. Itu sebabnya, banyak negara mengadopsi dan menerapkan liberalisme dalam menata ekonomi dan politik domestik maupun global.

Keyakinan pada liberalisme juga dianut rezim Orba, utamanya dalam pembangunan ekono­mi. Jamak diyakini, arsitek ekonomi Orba adalah ekonom beraliran liberal yang disebut Mafia Berkeley. Tak heran, saal Indonesia dilanda krisis moneter, Soeharto (almarhum) segera minta bantuan Intemational Monetary Fund (IMF). Oktober l997, pemerintah menandatangani nota Kesepahaman untuk mcndapat pinjaman IMF. Pemerintah optimis. Keterlibatan lMF mampu memulihkan kepercayaan internasional terhadap kinerja ekonomi domestik. IMF menjadi institusi penentu kebijakan ekonomi Indonesia. Negara tunduk dan wajib memenuhi persyaratan yang diajukannya.

IMF mengharuskan Indonesia meliberalisasi segala sektor demi mentransformasi relasi negara-pasar. Resep pemulihan ekonomi IMF disebut Structural Adjustment Program (SAP) yang meliputi privatisasi, swastanisasi, deregulasi. Lewat SAP, IMF menyingkirkan intervensi nega­ra dalam penyediaan barang publik. Dengan dalil neoliberal, IMF memandang subsidi, proteksi sebagai ineffisiensj. Rafick memberi catatan hitam pada Soeharto karena menerima se­penuhnya resep IMF. Padahal, SAP adalah alat negara maju memaksakan model prmbangunan yang niscaya menguntungkan mereka, namun mencelakai negara lemah sepertio Indonesia.

Pasca Soeharto lengser, Habibie naik tahta. Ia bangga karena mendapat utang luar negeri (ULN) baru. Baginya itu membuktikan meningkatnya kepercayaan internasional terhadap pemerintahnya. Rafick mencatat, Habibie lupa, sebenarnya ULN yang menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis. Banyak analisis menyimpulkan, krisis terjadi ka­rena Indonesia terjebak kondisi Fisher Paradox, yaitu situasi di mana makin Indo­nesia melunasi pembayaran ULN beserta cicilan bunganya, makin banyak UL.N nya. Sebab, untuk membayar ULN serta cicilannya, dibutuhkan ULN baru. Implikasinya, Indonesia terjebak perangkap ULN (debt trap). Tragisnya, ULN diandalkan Habibie guna mengangkat negara dari keterpurukan.

Dalam subbab, Mendayung di Antara Dua Karang, terungkap adanya friksi di kabinet Habibie. Kubu ortodoks {Gi-nandjar, dkk) versus kubu populis (Adi Sasono, dkk). Namun, pro­gram pengetatan kubu ortodoks minim simpati karena hanya rnengucurkan Rp l44 triliun dana BLB1 guna membantu 55 bank di BPPN. Sebaliknya lewat kebijakan pro poornya, semisal subsidi sembako bagi kaum miskin, kredit murah koperasi/ UKM, kubu populis meraup simpati. Tapi, prestasi fantasis Kabinet Habibie diukir Menneg BUMN Tanri Abeng.Tak genap 5 bulan berkiprah, ia berhasil menyetor ke APBN Rp lO triliun lebih.

Presiden Era Reformasi

Gus Dur adalah Presiden yang punya visi politik intemasional. Manuver diplomatiknya patut dipuji. Ia tahu bagaimana memahalkan posisi tawar Indo­nesia dalam diplomasi.

Agar tak melulu diremehkan AS, ia menggagas pembentukkan poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Ini menegaskan, Indonesia punya alternatif selain Barat .Tak hanya itu, ia bermaksud membuka hubungan dagang dengan Israel. Pertimbangannya, karena komunitas Yahudi menguasai Kongres/Senat AS. media massa dan lembaga keuangan internasional, ia ingin menembus akses ke komunitas Yahudi via Israel. Sayang, langkahnya menuai resistensi di dalam negeri. la akhirnya dijatuhkan akibat Bulog Gate dan Brunei Gate

Tak seperti Gus Dur yang ditekan IMF karena enggan menjual aset bangsa, Presiden Megawati justru diperlakukan lunak oleh IMF. Bantuan IMF mengalir mudah ke Mega. Imbalannya, Mega diharuskan menjual aset negara.Maka.satu persatu aset negara berpindah ke pihak asing. Ditangan Mega, tulis Rafick, liberalisasi eko­nomi berjalan tanpa batas. Akibatnya, kendati dipuji IMF, Mega akhimya digulingkan rakyat melalui Pemilu yang memilih SBY sebagai Presiden

Terhadap SBY-JK, Rafick berharap kebijakan ekonomi yang dilahirkan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Masa depan bangsa tak boleh diserahkan pada trinitas neoliberal: IMF, World Bank,WTO. Dengan legitimasi yang dimiliki, SBY-JK mestinya berani menghadapi tekanan asing.

Jika negara maju bisa memberikan asuransi kesehatan bagi rakyatnya dan pendidikannya gratis, bahkan diguyur beasiswa sebagai investasi masa depan, rakyat Indonesia ju­ga berhak mendapat perlakuan serupa. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, Ra­fick menyimpulkan, sebagian besar masalah-masalah fundamental belum tersentuh reformasi. Salah satu sebabnya adalah hilangnya kesempatan mereformasi sistem ekonomi dengan kreativitas sendiri.

Buku ini menarik karena merupakan basil penelusuran jurnalistik sepanjang satu dekade, dengan dilengkapi analisis kritis yang komprehensif menyangkut aneka peristiwa ekonomi-politik yang berlangsung dalam kurun waktu itu. Menyadari banyaknya informasi yang dapat diserap, tepat jika buku ini dibaca decision makers, politisi, ekonom, intelektual, mahasiswa serta pegiat LSM.' """


YF Ansy Lema

Staf Pengajar Dept.HI FISIP UNJ;

Mengajar Mata Kuliah Masalah Negara Berkembang di

Dept.HI FISIP Univ Paramadina, Jakarta



No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes