
CENGKRAMAN NEOLIBERALISME
Banyak analisis menyimpulkan, krisis terjadi karena Indonesia terjebak kondisi Fisher Paradox, yaitu situasi di mana makin Indonesia melunasi pembayaran utang luar negeri beserta cicilan bunganya, makin banyak utang luar negeri nya (Seputar Indonesia, Februari 2008)
Indonesia gagal lepas landas.Tak satu pun Presiden sejak era Orba sukses menuntun Indonesia dalam percaturan politik dan ekonomi. Sejak krisis, perekonomian Indonesia belum sepenuhnya menggeliat. Bahkan hingga kini, kehidupan rakyatnya terus ter-puruk. PadahaL raison d'etre (alasan adanya) negara adalah mewirjudkah eudaimonia, kebahagiaan. Itu berarti, pemerintahan Indonesia bertanggung jawab mempersembahkan kesejahteraan bagi warganya dengan merancang pembangunan yang mengabdi kepada rakyat, Pertanyaannya, kendati telah beberapa kali mengalami pergantian kekuasaan, mengapa kemajuan bangsa tak kunjung tercapai ?
Kegagalan lima Presiden da lam mengantar Indonesia menuju tinggal landas, adalah tema utama yang disorot jurnalis Majalah GlobeAsia, Ishak Rafick, dalam bukunya, Catalan Hitam Lima Presiden Indonesia : Sebuah Investigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi, dan Jalan Baru Membangun Indonesia. la juga mengungkap pangkal penyebab kehancuran ekonomi Indonesia, sekaligus menawarkan altematif jalan baru guna membangun Indonesia agar tidak makin tertinggal dari negara Asia lainnya. Gugatannya soal ketidakberdayaan para Presiden dalam mempertahankan kedaulatan dari penetrasi IMF, juga dikupas dalam buku ini.
SuperioritasIMF
Francis Fukuyama menyatakan, dunia tengah memasuki akbir sejarah yang ditandai oleh tampilnya liberalisme sebagai the winner yang menggungguli sosialisme dalam revitalisasi ideologjs sepanjang setengah abad. Inilah akhir dari sejarali, di mana kapitalisme dan demokrasi dianggap sebagai solusi terbaik guna memecahkan aneka masalah. Kapitalisme mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Demokrasi bermanfaat mengontrol negara agar tidak korup. Itu sebabnya, banyak negara mengadopsi dan menerapkan liberalisme dalam menata ekonomi dan politik domestik maupun global.
Keyakinan pada liberalisme juga dianut rezim Orba, utamanya dalam pembangunan ekonomi. Jamak diyakini, arsitek ekonomi Orba adalah ekonom beraliran liberal yang disebut Mafia Berkeley. Tak heran, saal Indonesia dilanda krisis moneter, Soeharto (almarhum) segera minta bantuan Intemational Monetary Fund (IMF). Oktober l997, pemerintah menandatangani nota Kesepahaman untuk mcndapat pinjaman IMF. Pemerintah optimis. Keterlibatan lMF mampu memulihkan kepercayaan internasional terhadap kinerja ekonomi domestik. IMF menjadi institusi penentu kebijakan ekonomi Indonesia. Negara tunduk dan wajib memenuhi persyaratan yang diajukannya.
IMF mengharuskan Indonesia meliberalisasi segala sektor demi mentransformasi relasi negara-pasar. Resep pemulihan ekonomi IMF disebut Structural Adjustment Program (SAP) yang meliputi privatisasi, swastanisasi, deregulasi. Lewat SAP, IMF menyingkirkan intervensi negara dalam penyediaan barang publik. Dengan dalil neoliberal, IMF memandang subsidi, proteksi sebagai ineffisiensj. Rafick memberi catatan hitam pada Soeharto karena menerima sepenuhnya resep IMF. Padahal, SAP adalah alat negara maju memaksakan model prmbangunan yang niscaya menguntungkan mereka, namun mencelakai negara lemah sepertio Indonesia.
Pasca Soeharto lengser, Habibie naik tahta. Ia bangga karena mendapat utang luar negeri (ULN) baru. Baginya itu membuktikan meningkatnya kepercayaan internasional terhadap pemerintahnya. Rafick mencatat, Habibie lupa, sebenarnya ULN yang menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis. Banyak analisis menyimpulkan, krisis terjadi karena Indonesia terjebak kondisi Fisher Paradox, yaitu situasi di mana makin Indonesia melunasi pembayaran ULN beserta cicilan bunganya, makin banyak UL.N nya. Sebab, untuk membayar ULN serta cicilannya, dibutuhkan ULN baru. Implikasinya, Indonesia terjebak perangkap ULN (debt trap). Tragisnya, ULN diandalkan Habibie guna mengangkat negara dari keterpurukan.
Dalam subbab, Mendayung di Antara Dua Karang, terungkap adanya friksi di kabinet Habibie. Kubu ortodoks {Gi-nandjar, dkk) versus kubu populis (Adi Sasono, dkk). Namun, program pengetatan kubu ortodoks minim simpati karena hanya rnengucurkan Rp l44 triliun dana BLB1 guna membantu 55 bank di BPPN. Sebaliknya lewat kebijakan pro poornya, semisal subsidi sembako bagi kaum miskin, kredit murah koperasi/ UKM, kubu populis meraup simpati. Tapi, prestasi fantasis Kabinet Habibie diukir Menneg BUMN Tanri Abeng.Tak genap 5 bulan berkiprah, ia berhasil menyetor ke APBN Rp lO triliun lebih.
Presiden Era Reformasi
Gus Dur adalah Presiden yang punya visi politik intemasional. Manuver diplomatiknya patut dipuji. Ia tahu bagaimana memahalkan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi.
Agar tak melulu diremehkan AS, ia menggagas pembentukkan poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Ini menegaskan, Indonesia punya alternatif selain Barat .Tak hanya itu, ia bermaksud membuka hubungan dagang dengan Israel. Pertimbangannya, karena komunitas Yahudi menguasai Kongres/Senat AS. media massa dan lembaga keuangan internasional, ia ingin menembus akses ke komunitas Yahudi via Israel. Sayang, langkahnya menuai resistensi di dalam negeri. la akhirnya dijatuhkan akibat Bulog Gate dan Brunei Gate
Tak seperti Gus Dur yang ditekan IMF karena enggan menjual aset bangsa, Presiden Megawati justru diperlakukan lunak oleh IMF. Bantuan IMF mengalir mudah ke Mega. Imbalannya, Mega diharuskan menjual aset negara.Maka.satu persatu aset negara berpindah ke pihak asing. Ditangan Mega, tulis Rafick, liberalisasi ekonomi berjalan tanpa batas. Akibatnya, kendati dipuji IMF, Mega akhimya digulingkan rakyat melalui Pemilu yang memilih SBY sebagai Presiden
Terhadap SBY-JK, Rafick berharap kebijakan ekonomi yang dilahirkan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Masa depan bangsa tak boleh diserahkan pada trinitas neoliberal: IMF, World Bank,WTO. Dengan legitimasi yang dimiliki, SBY-JK mestinya berani menghadapi tekanan asing.
Jika negara maju bisa memberikan asuransi kesehatan bagi rakyatnya dan pendidikannya gratis, bahkan diguyur beasiswa sebagai investasi masa depan, rakyat Indonesia juga berhak mendapat perlakuan serupa. Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, Rafick menyimpulkan, sebagian besar masalah-masalah fundamental belum tersentuh reformasi. Salah satu sebabnya adalah hilangnya kesempatan mereformasi sistem ekonomi dengan kreativitas sendiri.
YF Ansy Lema
Staf Pengajar Dept.HI FISIP UNJ;
Mengajar Mata Kuliah Masalah Negara Berkembang di
Dept.HI FISIP Univ Paramadina, Jakarta
No comments:
Post a Comment