
Kisah Tragis Dibalik Kemajuan China
Keunggulan utama buku ini terletak pada keberaniannya menyingkap borok yang terdapat di China. Sebuah provinsi yang saking miskinnya—serta menjadi aib bagi China—tidak boleh dikunjungi pihak luar, kini akhirnya menjadi konsumsi publik karena keberanian Chen dan Wu(Media Indonesia, 9-Februari-2008).
Siapapun pun tidak menyangkal China kini memegang posisi strategis dalam percaturan ekonomi dan politik global. Secara perlahan dan pasti, China menguasai berbagai sektor dalam ekonomi global. Penetrasi yang paling utama terlihat dari menjamumya produk China di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Indonesia.
Suatu ketika, tatkala China masih tertinggal dengan negara lain, Deng Xiao Ping berujar mantap, "Kucing hitam atau kucing putih yang penting adalah kucing yang bisa menangkap tikus. " Kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai penanda bahwa China sudah 'tidak mempersoalkan' ideologi apa pun yang penting mampu mengangkat harga dirinya. Kemajuan China seperti sekarang tentu tidak terjadi dalam satu malam. Proses panjang sejarah, mentalitas, berpadu dengan 'fleksibilitas ideologi menjadi faktor penunjang yang cukup penting dalam kemajuan China
Michael Potter, penulis Competitive Advantage of Nation (1990), mengatakan perubahan drastis China disebabkan mereka memiliki productivity culture. Productivity culture tidak hadir begitu saja, namun muncul dari luapan memori masa lalu yang suram dan dikontraskan dengan kemajuan yang sudah didapat kelompok atau negara lain.Sejarah kelam yang mereka alami memberi inspirasi China untuk bangkit. Itu terjadi tatkala China kalah dalam Perang Candu pada 1840. Ketika itu, China tidak kuasa menahan gempuran kapitalisme internasional yang digalang negara-negara Barat. Perang itu benar-benar memberi pelajaran penting bagi China bagaimana bersikap terhadap mereka yang berada diluar dirinya. Momen historis itulah yang membekas sehingga memunculkan semangat bersaing dan tak ingin dipermalukan untuk kedua kali.
China sekarang sudah berubah total. Dia bukan lagi negara yang terisolasi dari dunia luar, bukanlagi negara gagap teknologi, bahkan semua pertandingan olahraga intemasional dikuasai Cina. Ke-mampuan meyakinkan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2008 memberi bukti kuatnya pengaruh China.
Ironi Kemajuan
Berbeda 180 derajat dari data dan penjelas di atas, buku Chen dan Wu memperlihatkan sebuah penolakan terhadap kebangkitan China. Dari Pentagon hingga Wall Street, kemunculan China sebagai sebuah kekuatan global dipandang dengan suatu kombinasi ketakutan dan kegairahan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, serangkaian buku telah dipublikasikan di Barat. Buku-buku tersebut meramalkan semuanya, mulai dari perang yang sudah dekat hingga pada akhirnya China akan melampaui Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia yang berikutnya. Publisitas mengenai China muncul tak henti-hentinya.
Buku ini adalah penawar yang penting terhadap berbagai gembar-gembor dukungan yang dilakukan banyak pakar China belakangan ini. Buku ini memberikan pandangan dari bawah dan sisi gelap mengenai kekuatan ekonomi China.
Dalam buku ini, Anda akan menemukan karakter-karakter yang secara umum tidak punya suara dalam hiruk-pikuk yang mengiringi kebangkitan Cina. Fakta-fakta yang disampaikan di sini hampir tanpa kecuali dikumpulkan dari 'wilayah-wilayah terlarang' yang menakutkan dalam penulisan dan jurnalisme, termasuk kasus-kasus kejahatan besar di berbagai wilayah perdesaan, ka-sus-kasus yang telah memperingatkan Komite Pusat Partai Komunis mengenai apa yang telah disembunyikan rapat-rapat dari publik.
Buku Chen dan Wu juga membantu kita memandang kebijakan Komunis terkini dalam perspektif yang sebenarnya. Chen dan Wu mengeset buku mereka di kampung halaman mereka, Provinsi Anhui. Para pembaca AS mungkin tidak asing dengan Anhui karena di tempat itulah pemenang hadiah Nobel Perarl Buck mengeset karyanya yang paling terkenal, The Good Earth yakni kisah sebuah keluarga China yang sangat miskin. Anhui adalah salah satu provinsi termiskin di China. Sesungguhnya, selama bertahun-tahun, setelah sebagian besar China terbuka bagi pelancong dariBarat, orang asing dilarang mendatangi Anhui karena pemerintah komunis tidak ingin mereka melihat kemiskinan yang tersebar luas di sana.
Pasangan suami istri, Chen dan Wu, sebelumnya juga menuliskan sebuah laporan mengenai polusi di Sungai Huai, sungai terpanjang keenam di Cina sekaligus yang terkotor. Mereka mengunjungi 48 kota di sepanjang sungai itu dan melaporkan di 191 anak sungai yang besar, 80% airnya telah berubah menjadi hitam. Polutan yang masuk sungai dari berbagai pabrik berkumpul menjadi gunungan-gunungan sampah yang mirip kapal tongkang yang membusukkan sungai. Adakalanya buih-buih kecokelatan, campuran limbah yang berbahaya, dan sampah kasar membentang lebih dari 96 kilometer dengan tinggi hampir 2 meter di beberapa tempat. Penduduk setempat memakai topeng dan handuk basah yang menurupi wajah mereka supaya tidak muntah-muntah. Air minumnya begitu membahayakan kesehatan mereka yang hnggal di sepanjang sungai sehingga Tentara Pembe-basan Rakyat berhenti mengerahkan penduduk setempat karena mereka tidak kuat bertugas. Peringatan terhadap sungai Huai tulisan Chen terbukti merupakan kisah teguran tentang kehidupan di Republik Rakyat China. Sebagaimana yang dilakukan Perdana Menteri Wen di Maret 2006 kepada para petani China, pemerintah berjanji akan menanggulangi masalah polusi tersebut. Hanyasaja, semua janji itu tak terpenuhi.
Petani tertindas
Buku setebal 362 halaman ini merupakan kumpulan cerita nyata yang ditulis sepasang suami istri. Mereka nekat menulis dan memublikasikan kisah-kisah yang menggambarkan kebobrokan pemerintah wilayah yang tidak berpihak kepada petani kecil. Peristiwa itu terjadi di salah satu provinsi miskin di China. Dari karyanya, sang penulis Chen Guidi dan Wu Chuntao mendapatkan penghargaan dari Contemporary Age sebagai reportase yang inovatif. Buku ini sempat dilarang beredar di China karena dianggap sebagai provokator untuk rakyat memberontak dan mencoreng China di mata dunia.
Buku ini bercerita di balik semua kesuksesan pembangunan, ternyata praktik otoriter, premanisme, penindasan, dan nepotisme merebak terjadi di desa-desa dan yang menjadi korbannya adalah para petani. Diceritakan juga, perjuangan para petani dalam memperjuangkan keadilan dan nasib mereka di tengah-tengah penindasan fisik dan impitan pajak yang melambung.
Keunggulan utama buku ini terletak pada keberaniannya menyingkap borok yang terdapat di China. Sebuah provinsi yang saking miskinnya—serta menjadi aib bagi China:—tidak boleh dikunjungi pihak luar, kini akhirnya menjadi konsumsi publik karena keberanian Chen dan Wu.
Satu hal lain yang menjadikan China Undercover enak dilahap adalah gaya penyampaiannya yang sastrawi. Fakta-fakta itu disampaikan dengan permainan plot, deskripsi yang benar-benar mendekatkan kita dengan latar dan tokoh-tokoh cerita, serta rekonstruksi dialog-dialog yang semakin memudahkan pembaca membayangkan musibah yang menimpa para petani tersebut. Jadi, revolusi China yang didengung-dengungkan sebagai bentuk reformasi, ternyata menjadi bencana bagi mayoritas rakyat China.***
Suatu ketika, tatkala China masih tertinggal dengan negara lain, Deng Xiao Ping berujar mantap, "Kucing hitam atau kucing putih yang penting adalah kucing yang bisa menangkap tikus. " Kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai penanda bahwa China sudah 'tidak mempersoalkan' ideologi apa pun yang penting mampu mengangkat harga dirinya. Kemajuan China seperti sekarang tentu tidak terjadi dalam satu malam. Proses panjang sejarah, mentalitas, berpadu dengan 'fleksibilitas ideologi menjadi faktor penunjang yang cukup penting dalam kemajuan China
Michael Potter, penulis Competitive Advantage of Nation (1990), mengatakan perubahan drastis China disebabkan mereka memiliki productivity culture. Productivity culture tidak hadir begitu saja, namun muncul dari luapan memori masa lalu yang suram dan dikontraskan dengan kemajuan yang sudah didapat kelompok atau negara lain.Sejarah kelam yang mereka alami memberi inspirasi China untuk bangkit. Itu terjadi tatkala China kalah dalam Perang Candu pada 1840. Ketika itu, China tidak kuasa menahan gempuran kapitalisme internasional yang digalang negara-negara Barat. Perang itu benar-benar memberi pelajaran penting bagi China bagaimana bersikap terhadap mereka yang berada diluar dirinya. Momen historis itulah yang membekas sehingga memunculkan semangat bersaing dan tak ingin dipermalukan untuk kedua kali.
China sekarang sudah berubah total. Dia bukan lagi negara yang terisolasi dari dunia luar, bukanlagi negara gagap teknologi, bahkan semua pertandingan olahraga intemasional dikuasai Cina. Ke-mampuan meyakinkan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2008 memberi bukti kuatnya pengaruh China.
Ironi Kemajuan
Berbeda 180 derajat dari data dan penjelas di atas, buku Chen dan Wu memperlihatkan sebuah penolakan terhadap kebangkitan China. Dari Pentagon hingga Wall Street, kemunculan China sebagai sebuah kekuatan global dipandang dengan suatu kombinasi ketakutan dan kegairahan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, serangkaian buku telah dipublikasikan di Barat. Buku-buku tersebut meramalkan semuanya, mulai dari perang yang sudah dekat hingga pada akhirnya China akan melampaui Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia yang berikutnya. Publisitas mengenai China muncul tak henti-hentinya.
Buku ini adalah penawar yang penting terhadap berbagai gembar-gembor dukungan yang dilakukan banyak pakar China belakangan ini. Buku ini memberikan pandangan dari bawah dan sisi gelap mengenai kekuatan ekonomi China.
Dalam buku ini, Anda akan menemukan karakter-karakter yang secara umum tidak punya suara dalam hiruk-pikuk yang mengiringi kebangkitan Cina. Fakta-fakta yang disampaikan di sini hampir tanpa kecuali dikumpulkan dari 'wilayah-wilayah terlarang' yang menakutkan dalam penulisan dan jurnalisme, termasuk kasus-kasus kejahatan besar di berbagai wilayah perdesaan, ka-sus-kasus yang telah memperingatkan Komite Pusat Partai Komunis mengenai apa yang telah disembunyikan rapat-rapat dari publik.
Buku Chen dan Wu juga membantu kita memandang kebijakan Komunis terkini dalam perspektif yang sebenarnya. Chen dan Wu mengeset buku mereka di kampung halaman mereka, Provinsi Anhui. Para pembaca AS mungkin tidak asing dengan Anhui karena di tempat itulah pemenang hadiah Nobel Perarl Buck mengeset karyanya yang paling terkenal, The Good Earth yakni kisah sebuah keluarga China yang sangat miskin. Anhui adalah salah satu provinsi termiskin di China. Sesungguhnya, selama bertahun-tahun, setelah sebagian besar China terbuka bagi pelancong dariBarat, orang asing dilarang mendatangi Anhui karena pemerintah komunis tidak ingin mereka melihat kemiskinan yang tersebar luas di sana.
Pasangan suami istri, Chen dan Wu, sebelumnya juga menuliskan sebuah laporan mengenai polusi di Sungai Huai, sungai terpanjang keenam di Cina sekaligus yang terkotor. Mereka mengunjungi 48 kota di sepanjang sungai itu dan melaporkan di 191 anak sungai yang besar, 80% airnya telah berubah menjadi hitam. Polutan yang masuk sungai dari berbagai pabrik berkumpul menjadi gunungan-gunungan sampah yang mirip kapal tongkang yang membusukkan sungai. Adakalanya buih-buih kecokelatan, campuran limbah yang berbahaya, dan sampah kasar membentang lebih dari 96 kilometer dengan tinggi hampir 2 meter di beberapa tempat. Penduduk setempat memakai topeng dan handuk basah yang menurupi wajah mereka supaya tidak muntah-muntah. Air minumnya begitu membahayakan kesehatan mereka yang hnggal di sepanjang sungai sehingga Tentara Pembe-basan Rakyat berhenti mengerahkan penduduk setempat karena mereka tidak kuat bertugas. Peringatan terhadap sungai Huai tulisan Chen terbukti merupakan kisah teguran tentang kehidupan di Republik Rakyat China. Sebagaimana yang dilakukan Perdana Menteri Wen di Maret 2006 kepada para petani China, pemerintah berjanji akan menanggulangi masalah polusi tersebut. Hanyasaja, semua janji itu tak terpenuhi.
Petani tertindas
Buku setebal 362 halaman ini merupakan kumpulan cerita nyata yang ditulis sepasang suami istri. Mereka nekat menulis dan memublikasikan kisah-kisah yang menggambarkan kebobrokan pemerintah wilayah yang tidak berpihak kepada petani kecil. Peristiwa itu terjadi di salah satu provinsi miskin di China. Dari karyanya, sang penulis Chen Guidi dan Wu Chuntao mendapatkan penghargaan dari Contemporary Age sebagai reportase yang inovatif. Buku ini sempat dilarang beredar di China karena dianggap sebagai provokator untuk rakyat memberontak dan mencoreng China di mata dunia.
Buku ini bercerita di balik semua kesuksesan pembangunan, ternyata praktik otoriter, premanisme, penindasan, dan nepotisme merebak terjadi di desa-desa dan yang menjadi korbannya adalah para petani. Diceritakan juga, perjuangan para petani dalam memperjuangkan keadilan dan nasib mereka di tengah-tengah penindasan fisik dan impitan pajak yang melambung.
Keunggulan utama buku ini terletak pada keberaniannya menyingkap borok yang terdapat di China. Sebuah provinsi yang saking miskinnya—serta menjadi aib bagi China:—tidak boleh dikunjungi pihak luar, kini akhirnya menjadi konsumsi publik karena keberanian Chen dan Wu.
Satu hal lain yang menjadikan China Undercover enak dilahap adalah gaya penyampaiannya yang sastrawi. Fakta-fakta itu disampaikan dengan permainan plot, deskripsi yang benar-benar mendekatkan kita dengan latar dan tokoh-tokoh cerita, serta rekonstruksi dialog-dialog yang semakin memudahkan pembaca membayangkan musibah yang menimpa para petani tersebut. Jadi, revolusi China yang didengung-dengungkan sebagai bentuk reformasi, ternyata menjadi bencana bagi mayoritas rakyat China.***
No comments:
Post a Comment