Saturday, January 26, 2008



Seorang Pembaru Bernama Obama

Buku ini menunjukkan bagaimana pemahaman berbagai isu yang dimiliki Obama merentang dari masalah politik dalam negeri—kisah susahnya memperoleh akses pendidikan murah tapi bermutu—hingga masalah internasional yang membutuhkan ketajaman berpikir dan bacaan yang banyak: soal Rusia, Timur Tengah, perang yang digelorakan kalangan konservatif demi tujuan yang tidak jelas(Koran Tempo-2007)

Bintang rock itu bernama Obama. Semua lampu kamera dan perhatian publik kini mengarah padanya. Pintar (keluaran Harvard), muda, bersuara bariton dengan intonasi yang terjaga dan pilihan kata yang selalu jitu, serta sentuhan darah Afro-Amerika, Obama sudah memenuhi untuk menjadi idola. la kini sedang berdiri di panggung pertunjukan besar poli­tik Amerika. Targetnya satu : Kursi kepresidenan.

buku yang memuat pikiran senator Amerika Serikat dari Partai Demokrat untuk Illionois ini menunjuk­kan satu lagi kepiawaian laki-laki kelahiran Hawaii, 4 Agustus 1961 itu: menulis. Ketimbang memilih bahasa retorik, Obama justru memasukkan selera hidupnya yang menyenangkan serta contoh-contoh yang langsung menohok perhatian Kelihaiannya memilih kalimat itu mungkin sudah terasah ketika ia menjadi presiden Afrika-Amerika pertama kalinya pada jurnal bergengsi, Harvard Law Reviewed.

Diterjemahkan dari edisi aslinya, The Audacity of Hope, yang diambil dari frase yang kerap digunakan Obama saat ia berkampanye, buku ini diterbitkan Ufuk Press dengan judul Menerjang Harapan: Dari Ja-karta Menuju Gedung Putih. Keputusan penerbit untuk memilih sub-1 judul yang memikat ini mungkin saja jitu (di luar judul utamanya yang terdengar agak aneh) mengingat kedekatannya dengan Indonesia.

Ketika nama Obama naik ke panggung politik setelah ia terpilih sebagai senator pada 2004, publik Indonesia sudah memperhatikannya. Masa kecilnya di Indonesia dan pikiran-pikiran demokratnya yang jelas berseberangan dengan rezim Bush, terutama hal-hal yang menyangkut perasaan kornunitas muslim—termasuk soal Irak dan Timur Tengah—adalah daya pikat Obama.

Buku ini dibuka dengan bab ke­nangan masa kecil Berry-Panggilan Obama—di Jakarta saat ia ber­usia 6 hingga 10 tahun. Pemilihan bab ini sebagai pembuka—berbeda dengan urutan versi aslinya—lagi-lagi pilihan yang jitu. Dalam banyak berita sudah pernah diceritakan bahwa Berry kecil ikut ibunya, Ann Dunham, warga Amerika berkulit putih yang menikah lagi dengan se­orang pria Indonesia bernama Lolo Soetoro, ke Jakarta. Masa kecil di Jakarta pada awal berkuasanya Orde Baru rupanya berkesan betul di benak Obama.

Dalam bab Dunia di Luar Tapal Batas Kita itu, Obama bercerita ba­gaimana keluarga serba sederhana, tapi dalam situasi yang menyenangkan. la bahkan menyebut sebuah rumah yang sederhana di pinggiran kota, Kami tidak mempunyai mobil—ayah tiri saya mengen-darai sepeda motor, sedangkan ibu saya naik bus jurusan lokal setiap pagi ke Kedutaan Besar Amerika Serikat, tempatnya bekerja sebagai guru bahasa Inggris, Tak punya uang un-tuk bersekolah di sekolah internasional yang biasa dimasuki oleh anak-anak ekspatriat, saya berseko­lah di sekolah Indonesia lokal dan bergaul dengan anak petani, pelayan, penjahit, dan juru tulis

Sebagai seorang bocah berusia tujuh tahun atau delapan tahun hal ini tidak terlalu merisaukan saya: Saya ingat tahun.itu sebagai masa-masa yang menyenangkan, penuh dengan petualangan dan misteri-hari-hari mengejar-ngejar ayam dan berlari menghindari kerbau, malam-malam menonton wayang kulit dan kisah-kisah hantu serta penjual kaki lima yang menjajakan gula-gula yang lezat ke rumah kami.

Obama juga menyinggung kerisauannya akan isu terorisme dan menariknya kedalam kenangan saat ia berada di Bali

“Di sebuah pantai, hanya beberapa mil dari tempat pengeboman itulah saya tinggal untuk terakhir kalinya saat mengunjungi Bali. Ketika saya emmikirkan pulau itu, dan seluruh Indonesia, pikiran saya dipenuhi berbagai kenangan...Saya ingin mengajak Michelle dan anak anak perempuaj saya yang itu....”

Di luar isu tentang Indonesia, Obama membuktikan dirinya seba­gai pembaca, pemerhati, dan pembicara ulung, di balik bungkusan pakaian politikus yang ia kenakan. Dalam sejarah Amerika, tidak banyak memang politikus—kemudian berangkat menuju pertarungan ke-presidenan—yang menguasat banyak hal sekaligus. Bahkan tidak Franklyn D. Roosevelt sekalipun.

Buku ini menunjukkan bagaimana pemahaman berbagai isu yang dimiliki Obama merentang dari masalah politik dalam negeri—kisah susahnya memperoleh akses pendidikan murah tapi bermutu—hingga masalah internasional yang membutuhkan ketajaman berpikir- dan bacaan yang banyak: soal Rusia, Timur Tengah, perang yang digelorakan kalangan konservatif demi tujuan yang tidak jelas ("apa yang tidak dapat saya dukung adalah sebuah perang yang tolol, perang yang gegabah, perang yang bukan didasari oleh alasan, melamkan oleh nafsu, yang bukan didasari oleh prinsip, melainkan oleh politik").

Dengan pandangannya yang mungkin mencengangkan dan membikin gusar kubu Republiken, Oba­ma juga menyorot bagaimana nilai-nilai terus berubah: orang tua tunggal, peliknya bertahan dengan satu penghasilan, istri yang keluar dari rumah untuk menunjang penghasil­an keluarga, isu aborsi, dan persoalan pernikahan sejenis.

Dengan cara sama memikatnya— dan ini mungkin bagian terbaik da­ri buku tersebut—Obama menyorot hubungannya dengan banyak sena­tor dan lawan politiknya. Dengan gaya satire, ia menggambarkan ba­gaimana suatu kali ia bersua dengan Presiden George W. Bush di suatu kesempatan di musim dingin. Bush menggenggam tangannya dengan hangat dan mereka terlibat percakapan sesaat. Tidak lama kemudian, seorang anggota staf menyorongkan cairan pencuci tangan dan memoleskannya ke telapak tangan sang presiden. Dengan wajah tanpa ekspresi ia berkata, "Ini lumayan membantu untuk menghangatkan ta­ngan di musim dingin."

Buku yang mengena di hati kaum muda dan kelas menengah Amerika ini menunjukkan kualitas Obama— di luar tentu saja ambisinya yang berapi-api untuk maju ke pemilihan presiden pada 2008—sebagai sosok yang berwarna dengan ide pembaruan. Sebuah penawar yang segar di tengah kejenuhan orang pada rezim Bush yang membikin lelah































No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes