Sunday, January 27, 2008



















RESENSI


Warisan Busuk Mafia Berkeley


Ishak dalam buku ini mengungkapkan secara gamblang borok-borok resep yang dicekokkan IMF kepada pemerintah Yang cukup menarik, Ishak membedah kasus PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan cara pandang lain dalam bagian tersendiri. Lagi-Iagi, ia melihat keterpurukan yang dialami industri strategis pesawat terbang itu akibat campur tangan IMF yang teramat dalam. Dan, pe­merintah sendiri pun seperti manut pada keinginan lembaga donor itu (Majalah Gatra, Januari-2008).


Segala macam resep yang ditawarkan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund -IMF), untuk Indonesia ternyata tidak manjur sama sekali. Bahkan, kondisi negeri ini boleh dibilang tidak semakin baik sejak krisis ekonomi melanda pada 1997.1ebih runyam lagi, sikap dan kebijakan tim ekonomi pemerintah juga tidak berubah menghadapi lembaga donor, kendati orangnya dan presidennya sudah berganti lima kali.

Itulah pesan yang sepertinya hendak disampaikan penulis lewat buku ini. Ishak menyoroti sikap dan kebijakan-kebijakan yang diambil tim-tim ekonomi di bawah lima presiden: Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan terakhir Yudhoyono. Terutama dalam kaitan dengan lemhaga donor semacam IMF. Intinya sama: tim-tim ekonomi itu umumnya selalu tunduk pada kemauan IMF. Dan itulah inti persoalan yang membuat kekisruhan ekonomi Indonesia seperti tak berkesudahan hingga kini.

Ishak dalam buku ini mengungkapkan secara gamblang borok-borok resep yang dicekokkan IMF kepada pemerintah. Contoh yang paling telak adalah resep tentang rekapitalisasi perbankan. IMF memaksa pemerintah metigeluarkan obligasi senilai Rp 430 trilyun. Bersama bunganya obligasi rekapitalisasi itu kemudian bernilai Rp 600 trilyun.

Menurut skenario awal, obligasi itu dipakai hanya sebagai instrumen yang bisa ditarik kembali bila bank-bank sudah sehat. Tapi, belakangan, setelah bank-bank sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak pemerintah menjual bank-bank tadi bersama obligasinya. Perkembangan selanjutnya, bank-bank itu dibeli asing. Dengan cara itu, pemerintah telah mengubah utang swasta menjadi utang publik yang baru di samping utang luar negeri senilai US$ 137 milyar.

Kisruh dunia perbankan baru satu dari sekian banyak salah kaprah resep IMF. Ishak mengungkap lebih banyak lagi resep-resep di bidang industri dan pertambangan yang dipaksakan oleh IMF yang pada akhirnya mcnyengsarakan rakyat. Lebih celaka lagi, para ekonom yang menyusun kebijakan ekonomi dan moneter Indonesia pun tampak patuh pada kemauan lembaga itu dari waktu ke waktu.

Yang cukup menarik, Ishak membedah kasus PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan cara pandang lain dalam bagian tersendiri. Lagi-Iagi, ia melihat keterpurukan yang dialami industri strategis pesawat terbang itu akibat campur tangan IMF yang teramat dalam. Dan, pe­merintah sendiri pun seperti manut pada keinginan lembaga donor itu.

Dengan mengutip pendapat para mantan petinggi PTDI, ia mencoba mengupas apa yang sebenarnya terjadi di tubuh perusahaan yang dulu bernama IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) itu. Dengan belajar dari industri sejenis yang dikembangkan oleh negara maju, Ishak melihat kondisi PTDI sebetulnya tidak sangat buruk.

Setelah krisis, perusahaan yang selama ini dianggap selalu disusui peme­rintah itu hanya membutuhkan suntikan dana Rp 2 trilyun lagi untuk restrukturisasi. Tapi, dana itu tak diperoleh, karena IMF mendikte pemerintah agar menghentikan pengembangan PTDI Sikap IMF dan pemerintah kala itu dinilai sangat tidak adil bila dibandingkan dengan ratusan trilyun dana yang dikucurkan untuk restrukturisasi perbankan.

Padahal, pada saat itu, PTDI punya peluang besar untuk merebut sejumlah proyek ke depan. Pada tahun 2000 saja, karena kekurangan dana, perusahan ini tidak bisa ikut tender pengadaan pesawat CN-235 dari Australia senilai US$ 350 jura. Belum lagi pengembangan N-250 yang terhenti di tengah jalan karena ke-kurangan daria, Padahal perusahaan ini bisa ambil bagian untuk memenuhi kebutuhan dunia yang dalam lima tahun ke depan diperkirakan berjunilah sekitar 4,500 unit,

Tidak sekadar itu. Reputasi PTDI sendiri pun sebenarnya siadah diakui dunia. la memberi contoh kerja sama dengan Boeing dalam pengetesan pesawar jumbo jet. Demikian pula General Dynamic yang mempercayakan pembuatan ekor pesawat F-16 ke PTDI. Cuma, persoalan lainnya, menurut Ishak, lairangnya.vm)-£po/to:/j//w/ogj' dan visi pemerintah setelah Soeharto dan Habibie pun ikut memberi saham pada kemunduran industri pesawat terbang ini. Padahal, kemampuan teknologi dan industri seperti yang dikembangkan. PTDI itu adalah investasi masa depan.

Buku ini seperti memberi semacam pencerahan kepada pemhaca dalam me­lihat beragam krisis yang melanda negeri ini. Apa yang masih terus berlangsung hingga hari ini, bila ditarik benang merahnya, mulai dari pemerintahan Pak Harto hingga pemerintahan sekarang tetap tunduk pada kemauan IMF. Meminjam istilah Ishak, semua karena tim ekonomi pemerintah dari waktu ke waktu masih dipegang oleh kelompok ekonom neoliheral dan titisan ekonom dari "Mafia Berkeley". ib
erwiny.salim

GATRA, 24-30 JANUARI 2008

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes