Tuesday, August 15, 2006

BEDAH BUKU HOLY BLOOD, HOLY GRAIL: MEMBANGUN DIALOG BUKAN PERDEBATAN

Aula Yayasan Wakaf Paramadina di Jl.TB Simatupang, Pondok Indah Plaza 3 Blok F4-F6, Jakarta Selatan, Jum’at, 11 Agustus 2003 kemarin penuh sesak, dipenuhi para pengunjung yang hendak mengikuti acara bedah buku bertajuk “Menguak Fakta: antara Fiksi dan Non-Fiksi dalam Holy Blood, Holy Grail (HBHG)”. Sebagian diantara mereka bahkan rela berdiri. Diskusi yang dimoderatori Akmal Nasery Basral dari majalah Tempo ini menghadirkan dua pembicara utama yaitu Prof. Dr. Jalaludin Rahmat, dan Romo Johannes Hariyanto, SJ, Ketua ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).

Buku yang diterbitkan oleh Ufuk Press tersebut dipilih terkait dengan kontroversi novel Da Vinci Code yang telah merebak sebelumnya. Dan Brown, sang pengarang, di duga menulis novel tersebut berdasarkan data – data yang termuat dalam HBHG. Bahkan ia mengakui sangat dipengaruhi oleh buku ini saat menulis fiksi yang telah terjual 40 juta dalam berbagai bahasa. Tokoh – tokoh kunci dalam fiksi tersebut misalnya merupakan anagram dari beberapa nama pengarang HBHG. “Tokoh Leigh Teabing dalam fiksi Da Vinci Code merupakan gabungan dari nama pengarang HBHG, yaitu Richard Leigh dan Michael Beagant, dimana nama Teabing merupakan anagram dari nama Beagant”, ujar Akmal saat membuka diskusi.

Menurut Ahmad Taufiq yang mewakili penerbit Ufuk Press, acara bedah buku ini juga terinspirasi oleh surat-menyurat antara almarhum Cak Nur ―yang semasa hidupnya memimpin Universitas Paramadina― dengan Romo Magnis (Prof. Dr. Franz Magnis Suseno) pada tahun 1995. Dalam surat menyurat tersebut Cak Nur banyak mengutip data – data dari buku HBHG. Saat ini rekaman korespondensi yang tidak dipublikasikan secara terbuka itu masih tersimpan rapi di Yayasan Wakaf Paramadina.

Sementara itu, Romo Hariyanto yang mewakili kalangan gereja dalam paparannya menyatakan bahwa banyaknya buku yang mengungkap persoalan Yesus menikah dan memiliki keturunan seperti yang diulas dalam buku HBHG bukanlah persoalan yang fundamental bagi penganut Kristen. Ia juga membantah beberapa data yang dijadikan bahan tulisan dalam buku ini. “Dari segi metodologi riset yang dilakukan saja sudah menimbulkan masalah, sebab dalam menarik konklusi permasalahan-permasalahan Kristen awal tarikh Masehi, mereka bertumpu pada dokumen-dokumen dari abad 7, 13, dan 18 serta menafikan dokumen persoalan yang sama dari abad awal tahun Masehi yang ditulis oleh saksi mata”, ujarnya.

Secara umum kritik-kritik Romo Haryanto terhadap buku yang versi aslinya terbit tahun 1981 ini sebenarnya telah ia tulis dalam makalah pendek yang dibagikan. Menurut Romo HBHG hanya pantas disebut sebagai pseudo-ilmiah alias pura-pura ilmiah. Hanya saja menurutnya karena topik yang diangkat menyangkut rumusan keyakinan suatu agama besar, maka banyak orang menjadi ingin tahu. “Sebuah usaha pemasaran yang baik”, ujar beliau.

Sedangkan Prof. Dr. Jalaludin Rahmat yang lebih akrab dipanggil dengan nama “Kang Jalal” melihat buku ini sangat baik untuk dibaca, terlepas dari “bingkai” yang meliputinya. Kang Jalal, cendekiawan muslim ternama, yang juga guru besar komunikasi massa melihat kasus HBHG bisa dilihat dalam konteks framing yang dalam terminologi komunikasi adalah upaya yang dilakukan seseorang menyusun dan menyampaikan pesannya dengan cara menghubungkan beberapa peristiwa yang saling terkait. Menurutnya para pengarang HBHG telah mengerahkan segenap usahanya selama 10 tahun lebih mengumpulkan berbagai data dan membingkainya dalam sebuah buku.

Dalam melihat kontroversi seputar buku ini, Kang Jalal mengingatkan ada perbedaan makna yang amat jelas antara “perdebatan” dan sebuah “dialog”. Mengutip pendapat dari salah seorang ahli debat asal Jerman, Hubner, perdebatan hanya akan menghasilkan kemenangan dan kekalahan di pihak lainnya, sedangkan dialog dilandasi cinta perdamaian. “Hari ini saya sedang berdialog kepada anda di sini untuk mendapatkan cinta”, ujarnya.

Acara yang pada awalnya diprediksi akan menjadi dialog yang “panas” antara Islam dan Kristen tersebut ternyata malah berlangsung dalam suasana yang “hangat”, dengan tidak mengurangi gairah diskusi seluruh peserta acara. Beberapa kali Kang Jalal seperti biasanya menjelaskan permasalahan dengan gaya humornya yang khas sehingga membuat gerr para peserta bedah buku, tidak terkecuali juga Romo Hariyanto.

Alhasil, walaupun acara tersebut tidak sampai pada sebuah kesimpulan final, menguak fakta antara fiksi dan non-fiksi dalam HBHG, namun yang jelas acara tersebut telah menjadi ruang dialog yang indah antara Islam dan Kristen, bukan sebuah perdebatan yang menghasilkan kalah – menang.

Ini sejalan dengan tujuan Paramadina yang dikenal sebagai lembaga yang mempelopori semangat pluralisme, dan penerbit Ufuk Press selaku penerbit, yang mengharapkan munculnya buku ini akan dapat meningkatkan sikap saling kepahaman antara pemeluk Islam dan Kristen, serta tuntutan publik akan informasi tambahan, dan bukan untuk mendiskreditkan agama tertentu.


Gambar dari ka-ki:
Bakar Bilfaqih (Ufuk Press), Kang Jalal, Akmal N Basral, Romo Haryanto, Ahmad Taufiq (Ufuk Press), dan Ism B. Koesalamwardi (penterjemah HBHG)

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes