Monday, August 03, 2009



KISAH KELAM PEREMPUAN ARAB

Buku yang terdiri 38 cerita hasil pengalaman langsung Qanita Ahmed selama bekerja di negeri kerajaan monarki tersebut membuka fakta baru yang selama ini tertutupi, terutama terkait kehidupan perempuan yang selalu terkekang beragam aturan diskriminatif
(Erick Purnama Putra, Koran Jakarta, Agustus 2009)


Kehidupan masyarakat, terutama perempuan, di Arab Saudi selalu menarik untiik dikupas, sebab keberadaannya terjepit dalam aturan budaya tradisional ketat yang membuatnya terkungkung. Padahal di saat bersamaan, laju kemodernan hidup melaju kencang, membawa perubahan di seluruh belahan dunia. Maka, fenomena itu pasti sangat menarik untuk dikuak agar masyarakat dunia tahu apa yang terjadi terkait realitas kehidupan perempuan di negara tempat Ka'bah berada.

Buku The Lost Arabian Women mengungkap perjalanan Qanta A Ahmed, seorang muslimah Pakistan yang sempat kuliah di Inggris dan Amerika Serikat (AS), yang mengabdikan diri bekerja di tanah Arab. Pengalaman berinteraksinya hidup di Arab Saudi membuat penulis menjadi lebih paham tentang kisah kelam nasib perempuan di sana.

Gambaran yang ditangkapnya beserta pengalamannya selama setahun kunjungannya di Arab Saudi yang dianggap sebagai dunia rumit, yang memegang tradisi berbeda dengan negara Barat, telah menyadarkan penulis bahwa negara kerajaan itu menyimpan fenomena memuakkan.

Pasalnya, banyak kejadian aneh yang menghambat aktivitas rakyat (perempuan) akibat aturan tradisional yang mengekang. Qanta Ahmed yang berprofesi sebagai dokter di Rumah Sakit King Fahad National Guard Hospital di Riyadh, yang diperuntukkan bagi kalangan militer yang mengabdi pada Kerajaan Saudi Arabia, menjelaskan bahwa budaya lokal yang dianut masyarakat Arab Saudi kadang malah merepotkan dan tak masuk akal serta menempatkan perempuan berada dalam posisi tertekan.

Perempuan tak boleh pergi tanpa memakai abbayah (cadar). Menurut penulis, perempuan di Arab Saudi yang menganut paham Wahabi sangat keras dalam menerjemahkan pakaian sebagai penutup aurat. Padahal dari perjalanan hidupnya yang besar di Pakistan dan pernah singgah di Afganistan dan Iran, aturannya tak seekstrem di Arab Saudi. Bahkan, dalam rumah, meski tak ada laki-laki pun, perempuan yang diidentiflkasi dalam kelompok superortodoks tersebut tak mau melepaskan cadar yang menutupi tubuhnya. Tak heran, pada peristiwa melahirkan, menikah, dan meninggal dunia pun abbayah yang dipakai tak
akan dilepas.

Pada bagian lain dikisahkan tentang penulis yang memiliki teman bernama Fatima yang memutuskan bercerai akibat suaminya menikah lagi. Tak ingin dimadu, akhirnya Fatima menalak tiga suaminya yang dinilai melakukan perbuatan yang tak bisa dimaafkan. Anehnya, ketika menceritakan rencana perjalanan hidupnya ke depan kepada Qanta Ahmed, Fatima ingin menikah lagi dengan suami yang sudah beristri.

Buku yang terdiri 38 cerita hasil pengalaman langsung Qanita Ahmed selama bekerja di negeri kerajaan monarki tersebut membuka fakta baru yang selama ini tertutupi, terutama terkait kehidupan perempuan yang selalu terkekang beragam aturan diskriminatif. Para wanita di tanah Saudi, tak terkecuali non-Islam, terkena aturan kaku dengan memakai penutup aurat. *


Peresensi adalah Erik Purnama
Putra, aktivis Pers Koran Kampus
Bestari Universitas Muhammadiyah
Malang

No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes