
RIYADH UNDERCOVER
Novel ini menggugat tradisi di Arab Saudi yang Selama Ini Dianggap Sudah Mapan dan Kebal Hukum
(Mohamad Asrory Mulki, Koran Jakarta, September 2008)
(Mohamad Asrory Mulki, Koran Jakarta, September 2008)
Di tengah derasnya arus globalisasi dan informasi yang terus menerjang setiap inci kehidupan manusia, tradisi tidak sekadar dianggap sebagai warisan nenek moyang, tapi juga sebagai nilai-nilai luhur yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Dalam keyakinan sebagian orang, hanya dengan mematuhi tradisi, kemuliaan dan kebahagiaan hidup akan dicapai.
Novel The Girls of Riyadh buah karya Rajaa Al Sanea, alumnus King Saud University dan kini menyandang gelar dokter gigi, mencoba mendobrak tradisi kelam di Riyadh yang dianggapnya sudah tidak lagi relevan. Menurutnya, tradisi yang tidak menghargai kebebasan dan hak-hak individu harus dilawan dan dihapuskan, karena itu tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan.
Atas dasar itu, Al Sanea (waktu itu namanya disamarkan) harus membeberkan kisah kelam keempat sahabatnya: Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy, dan Michelle El Abdul Rahman, sebagai bahan pertimbangan untuk direnungkan dan diperhatikan masyarakat Riyadh. Melalui kisah nyata ini, penulis mengirimkan e-mail setiap Jumat siang kepada sebagian besar pengguna Internet di seluruh Saudi.
Dalam e-mailnya dikatakan bahwa Qamrah, Shedim, Lumeis, dan Michelle adalah wanita-wanita semiekslusif di tengah pergulatan masyarakat Riyadh, dan sering kali mereka tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang masyarakat dan budaya kecuali yang kebetulan mereka dengar dan saksikan. Kehidupan mereka cenderung dieksklusi dari hal-hal yang berbau modern dan inklusif. Ketaatan pada tradisi harus selalu mereka utamakan apa pun risikonya.
Sehingga, dalam soal pernikahan, keempat sahabat ini harus tunduk pada tradisi keluarga calon suami mereka masing-masing. Michelle misalnya, harus menggagalkan pernikahanya dengan Faishal, lelaki pujaanya, hanya karena keluarga Faishal tidak menerima Michelle yang memiliki darah campuran (Amerika-Saudi). Begitu pula dengan Shedim harus membatalkan pernikahanya dengan Walid hanya karena dianggap tidak sederajat dengan keluarga Walid. Sementara Qamrah harus hidup sebatang kara dengan anak laki-lakinya, Soleh, hanya karena Rasyid (suami Qamrah) menuduh istrinya tidak bisa menjadi pendamping impianya dan tidak taat pada tradisi yang berlaku di Riyadh.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah memilukan dari keempat gadis Riyadh itu. Singkatnya, mereka harus menanggung rentetan penderitaan hanya karena terbentur oleh tradisi yang berlaku. Mereka harus berpisah dengan laki-laki pujaanya dan meratapi cintanya yang kandas di tengah jalan. Hingga pada akhirnya, apa yang terjadi? Untuk mendapatkan seorang suami, mereka harus menerima laki-laki yang mereka tidak cintai. Sungguh tragis dan memilukan jalan hidup yang harus mereka lalui.
Kisah ini cukup menggemparkan jagat Saudi. Sehingga di setiap Sabtu pagi, fenomena heboh ini telah mengubah kantor-kantor pemerintahan, aula perguruan tinggi, teras rumah sakit, dan tempat-tempat lainya menjadi ruang diskusi mempersoalkan e-mail itu. Setiap orang melibatkan diri dalam diskusi ini, dari para dosen, guru, sastrawan, intelektual, mahasiswa, pejabat pemerintahan, hingga masyarakat biasa.
Pro-kontra pun terjadi. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentang perbuatan keempat gadis itu. Bagi yang pro, apa yang dilakukan keempat gadis itu merupakan kewajaran dan alami saja sifatnya. Sementara bagi yang kontra, kemarahan dan kejengkelan dialamatkan kepada keempatnya atas perbuatan bodoh yang telah melanggar tradisi masyarakat yang selama ini dijaga dan dilestarikan.
Novel ini menggugat tradisi di Arab Saudi yang selama ini dianggap sudah mapan dan kebal hukum. Kehadirannya telah memukul banyak pihak, lantaran peristiwa yang terungkap di dalamnya tidak saja dianggap sebagai sebuah pencemaran tetapi juga dianggap sebagai upaya merobek dan mencabik-cabik moral sebuah bangsa.
MohamadAsrori Mulky Peresensi adalah analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta
Novel The Girls of Riyadh buah karya Rajaa Al Sanea, alumnus King Saud University dan kini menyandang gelar dokter gigi, mencoba mendobrak tradisi kelam di Riyadh yang dianggapnya sudah tidak lagi relevan. Menurutnya, tradisi yang tidak menghargai kebebasan dan hak-hak individu harus dilawan dan dihapuskan, karena itu tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan.
Atas dasar itu, Al Sanea (waktu itu namanya disamarkan) harus membeberkan kisah kelam keempat sahabatnya: Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy, dan Michelle El Abdul Rahman, sebagai bahan pertimbangan untuk direnungkan dan diperhatikan masyarakat Riyadh. Melalui kisah nyata ini, penulis mengirimkan e-mail setiap Jumat siang kepada sebagian besar pengguna Internet di seluruh Saudi.
Dalam e-mailnya dikatakan bahwa Qamrah, Shedim, Lumeis, dan Michelle adalah wanita-wanita semiekslusif di tengah pergulatan masyarakat Riyadh, dan sering kali mereka tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang masyarakat dan budaya kecuali yang kebetulan mereka dengar dan saksikan. Kehidupan mereka cenderung dieksklusi dari hal-hal yang berbau modern dan inklusif. Ketaatan pada tradisi harus selalu mereka utamakan apa pun risikonya.
Sehingga, dalam soal pernikahan, keempat sahabat ini harus tunduk pada tradisi keluarga calon suami mereka masing-masing. Michelle misalnya, harus menggagalkan pernikahanya dengan Faishal, lelaki pujaanya, hanya karena keluarga Faishal tidak menerima Michelle yang memiliki darah campuran (Amerika-Saudi). Begitu pula dengan Shedim harus membatalkan pernikahanya dengan Walid hanya karena dianggap tidak sederajat dengan keluarga Walid. Sementara Qamrah harus hidup sebatang kara dengan anak laki-lakinya, Soleh, hanya karena Rasyid (suami Qamrah) menuduh istrinya tidak bisa menjadi pendamping impianya dan tidak taat pada tradisi yang berlaku di Riyadh.
Dan masih banyak lagi kisah-kisah memilukan dari keempat gadis Riyadh itu. Singkatnya, mereka harus menanggung rentetan penderitaan hanya karena terbentur oleh tradisi yang berlaku. Mereka harus berpisah dengan laki-laki pujaanya dan meratapi cintanya yang kandas di tengah jalan. Hingga pada akhirnya, apa yang terjadi? Untuk mendapatkan seorang suami, mereka harus menerima laki-laki yang mereka tidak cintai. Sungguh tragis dan memilukan jalan hidup yang harus mereka lalui.
Kisah ini cukup menggemparkan jagat Saudi. Sehingga di setiap Sabtu pagi, fenomena heboh ini telah mengubah kantor-kantor pemerintahan, aula perguruan tinggi, teras rumah sakit, dan tempat-tempat lainya menjadi ruang diskusi mempersoalkan e-mail itu. Setiap orang melibatkan diri dalam diskusi ini, dari para dosen, guru, sastrawan, intelektual, mahasiswa, pejabat pemerintahan, hingga masyarakat biasa.
Pro-kontra pun terjadi. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentang perbuatan keempat gadis itu. Bagi yang pro, apa yang dilakukan keempat gadis itu merupakan kewajaran dan alami saja sifatnya. Sementara bagi yang kontra, kemarahan dan kejengkelan dialamatkan kepada keempatnya atas perbuatan bodoh yang telah melanggar tradisi masyarakat yang selama ini dijaga dan dilestarikan.
Novel ini menggugat tradisi di Arab Saudi yang selama ini dianggap sudah mapan dan kebal hukum. Kehadirannya telah memukul banyak pihak, lantaran peristiwa yang terungkap di dalamnya tidak saja dianggap sebagai sebuah pencemaran tetapi juga dianggap sebagai upaya merobek dan mencabik-cabik moral sebuah bangsa.
MohamadAsrori Mulky Peresensi adalah analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta
No comments:
Post a Comment