
.....HANYA BAGAIMANA MEMAINKAN KARTU
Ada banyak kuliah, ceramah, bahkan buku tentang topik serupa —bagaimana memompa semangat hidup sekalipun ajal telah dekat. Tapi, berbeda dari semua itu, yang justru mengundang banyak pertanyaan dan keraguan, Pausch jujur dan tulus. Dan itulah kelebihannya`
(Ruang Baca Koran Tempo, Agustus 2008)
Ada banyak kuliah, ceramah, bahkan buku tentang topik serupa —bagaimana memompa semangat hidup sekalipun ajal telah dekat. Tapi, berbeda dari semua itu, yang justru mengundang banyak pertanyaan dan keraguan, Pausch jujur dan tulus. Dan itulah kelebihannya`
(Ruang Baca Koran Tempo, Agustus 2008)
Selama sejam lebih sedikit, pada pertengahan September tahun lalu, Randy Pausch sebenarnya hanya berbicara tentang "bagaimana rasanya bisa benar-benar mewujudkan impian masa kanak-kanak". Tapi ceramah guru besar ilmu komputer di Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Amerika Serikat, itu begitu menggetarkan dan menggerakkan: muatan optimismenya mengundang sekaligus gelak tawa dan air mata haru audiensnya. Ruangan yang penuh sesak oleh 500-an hadirin menjadi begitu emosional —adegan yang mungkin mengingatkan orang pada film Dead Poet Society.
Apa yang terjadi hari itu tak lama kemudian masuk ke ranah publik, menjadi bahan pembicaraan. berbagai kalangan dj Amerika. Antara lain hal itu dimungkinkan oleh hasil kerja Jeff Zaslow. Wartawan The Wall Street Journal ini menuliskan kesannya setelah menghadiri "kuliah" Pausch. Dia juga membubuhkan cuplikan video di website koran ekonomi kondang itu. "(Saya) seperti menyaksikan. Michael Jordan melakukan jump shot-nya pada akhir babak final NBA. Seperti ada setrum di ruang itu. Saya tahu semua orang di sana terpengaruh. Tapi saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi kemudian, bahkan dalam mimpi saya yang paling gila," katanya.
Yang terjadi kemudian adalah pembaca mengirimkan cuplikan video itu kepada teman-temannya. Dan seperti efek yang biasa terjadi dalam kasus serupa, seperti virus yang menyebar cepat: dalam hitungan beberapa jam saja ratusan ribu orang telah menontonnya, di YouTube maupun di berbagai platform lainnya; versi utuhnya di YouTube telah dikunjungi lebih dari enam juta orang. Dengan bantuan Zaslow, Pausch pun menerbitkan The Last Lecture pada April 2008, yang sejauh ini telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa (Ufuk Press menerbitkannya ke dalam bahasa Indonesia).
Dan kemudian pula, dari Pausch, ayah tiga anak yang didiagnosa menderita kanker pankreas yang mematikan, orang Amerika dan dunia pun berkesempatan belajar, atau setidaknya diingatkan, tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup. Dengan kanker yang dideritanya, dokter memperkirakan Pausch hanya bisa bertahan 3-6 bulan. Diagnosa seperti itu, bagi kebanyakan orang, adalah alasan yang cukup untuk kehilangan harapan dan bahkan putus asa. Pausch adalah perkecualian, satu di antara sedikit saja orang yang bisa bersikap begitu. Dia tak berpikir tentang mati. Dalam kuliah pamungkasnya —suatu kelaziman, akademisi terkemuka diminta memikirkan dan berbagi tentang topik yang paling menarik minatnya seolah-olah itulah kesempatan terakhirnya —dia bicara tentang hal sederhana. Kita tidak tahu persis kekuatan apa yang menjadi pendorong. Mungkin keluarganya, istri dan anak-anaknya yang belum cukup umur untuk mandiri, yang akan kehilangan dirinya, sebagaimana selalu dia kemukakan. Mungkin ada hai lain yang bahkan dia sendiri tak tahu.
Bisa jadi juga latar belakang keluarganya berperan di situ. Keluarga seperti apa? Salah satu slide yang dia sisipkan dalam ceramahnya adalah foto yang memperlihatkan ibunya yang sedang bermain gokart pada hari ulang tahunnya yang ke-70. Foto yang lain memperlihatkan ayahnya sedang bergembira menumpang roller-coaster pada usianya yang ke-80.
Ada banyak kuliah, ceramah, bahkan buku tentang to¬pik serupa —bagaimana memompa semangat hidup sekalipun ajal telah dekat. Tapi, berbeda dari semua itu, yang justru mengundang banyak pertanyaan dan keraguan, Pausch jujur dan tulus. Dan itulah kelebihannya: dia tak menyinggung ihwal spritualitas atau agama; dia bicara semata dengan "otoritas" seseorang yang dengan berani menghadapi maut dan membuat penilaian tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup; dan, lebih-lebih lagi, dia tak pernah kehilangan humor.
"Dia hanya mengatakan apa adanya. Banyak orang tahu ada seseorang yang sedang sekarat, atau mereka sendiri sedang menjelang ajal. Kita semua ingin hidup dan menjalani hidup sepenuhnya. Dia mengartikulasikan hal itu dengan cara yang sanggup mengusik imajinasi orang," kata Zaslow.
Dan semua itu, seperti kita bisa tahu, dia lakukan tanpa berusaha menafikan kenyataan bahwa ada saatnya manusia benar-benar tak berdaya di hadapan takdir — Pausch akhirnya meninggal di usia 48 tahun pada 25 Juli 2008. Dalam kata-katanya, "Kita tak bisa mengubah kartu yang kita ambil, hanya bagaimana kita memainkannya." •
Apa yang terjadi hari itu tak lama kemudian masuk ke ranah publik, menjadi bahan pembicaraan. berbagai kalangan dj Amerika. Antara lain hal itu dimungkinkan oleh hasil kerja Jeff Zaslow. Wartawan The Wall Street Journal ini menuliskan kesannya setelah menghadiri "kuliah" Pausch. Dia juga membubuhkan cuplikan video di website koran ekonomi kondang itu. "(Saya) seperti menyaksikan. Michael Jordan melakukan jump shot-nya pada akhir babak final NBA. Seperti ada setrum di ruang itu. Saya tahu semua orang di sana terpengaruh. Tapi saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi kemudian, bahkan dalam mimpi saya yang paling gila," katanya.
Yang terjadi kemudian adalah pembaca mengirimkan cuplikan video itu kepada teman-temannya. Dan seperti efek yang biasa terjadi dalam kasus serupa, seperti virus yang menyebar cepat: dalam hitungan beberapa jam saja ratusan ribu orang telah menontonnya, di YouTube maupun di berbagai platform lainnya; versi utuhnya di YouTube telah dikunjungi lebih dari enam juta orang. Dengan bantuan Zaslow, Pausch pun menerbitkan The Last Lecture pada April 2008, yang sejauh ini telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa (Ufuk Press menerbitkannya ke dalam bahasa Indonesia).
Dan kemudian pula, dari Pausch, ayah tiga anak yang didiagnosa menderita kanker pankreas yang mematikan, orang Amerika dan dunia pun berkesempatan belajar, atau setidaknya diingatkan, tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup. Dengan kanker yang dideritanya, dokter memperkirakan Pausch hanya bisa bertahan 3-6 bulan. Diagnosa seperti itu, bagi kebanyakan orang, adalah alasan yang cukup untuk kehilangan harapan dan bahkan putus asa. Pausch adalah perkecualian, satu di antara sedikit saja orang yang bisa bersikap begitu. Dia tak berpikir tentang mati. Dalam kuliah pamungkasnya —suatu kelaziman, akademisi terkemuka diminta memikirkan dan berbagi tentang topik yang paling menarik minatnya seolah-olah itulah kesempatan terakhirnya —dia bicara tentang hal sederhana. Kita tidak tahu persis kekuatan apa yang menjadi pendorong. Mungkin keluarganya, istri dan anak-anaknya yang belum cukup umur untuk mandiri, yang akan kehilangan dirinya, sebagaimana selalu dia kemukakan. Mungkin ada hai lain yang bahkan dia sendiri tak tahu.
Bisa jadi juga latar belakang keluarganya berperan di situ. Keluarga seperti apa? Salah satu slide yang dia sisipkan dalam ceramahnya adalah foto yang memperlihatkan ibunya yang sedang bermain gokart pada hari ulang tahunnya yang ke-70. Foto yang lain memperlihatkan ayahnya sedang bergembira menumpang roller-coaster pada usianya yang ke-80.
Ada banyak kuliah, ceramah, bahkan buku tentang to¬pik serupa —bagaimana memompa semangat hidup sekalipun ajal telah dekat. Tapi, berbeda dari semua itu, yang justru mengundang banyak pertanyaan dan keraguan, Pausch jujur dan tulus. Dan itulah kelebihannya: dia tak menyinggung ihwal spritualitas atau agama; dia bicara semata dengan "otoritas" seseorang yang dengan berani menghadapi maut dan membuat penilaian tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup; dan, lebih-lebih lagi, dia tak pernah kehilangan humor.
"Dia hanya mengatakan apa adanya. Banyak orang tahu ada seseorang yang sedang sekarat, atau mereka sendiri sedang menjelang ajal. Kita semua ingin hidup dan menjalani hidup sepenuhnya. Dia mengartikulasikan hal itu dengan cara yang sanggup mengusik imajinasi orang," kata Zaslow.
Dan semua itu, seperti kita bisa tahu, dia lakukan tanpa berusaha menafikan kenyataan bahwa ada saatnya manusia benar-benar tak berdaya di hadapan takdir — Pausch akhirnya meninggal di usia 48 tahun pada 25 Juli 2008. Dalam kata-katanya, "Kita tak bisa mengubah kartu yang kita ambil, hanya bagaimana kita memainkannya." •
No comments:
Post a Comment