HABIS BLUE ENERGY;TERBITLAH BROWN ENERGY
oleh : Rudi Ariffianto
Belakangan begitu santer orang membicarakan banyugeni atau yang dikenal luas dengan sebutan Blue Energy dengan segala kontroversinya. Blue Energy, yang konon merupakan sumber energi alternatif berbahan baku air, sebenarnya masih misterius dan banyak kalangan pakar energi dan akademisi mencibir sebagai bentuk penipuan.
Tidak tanggung-tanggung jika benar itu penipuan, korbannya adalah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut melepas tour mobil berbahan bakar Blue Energy ini ke acara United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember tahun lalu.
Bahkan, kala itu SBY didampingi staf khusus presiden Heru Lelono, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Negara Ristek Kusmayanto Kadiman, menimang-nimang Blue Energy yang dikemas dalam botol.
Setelah dikabarkan menipu Presiden, dan beberapa 'objek penipuan' lainnya terkait proyek Pembangkit Listrik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Joko Suprapto angkat bicara dan membantah secara keras.
Alasannya, dia masih dalam proses penyelesaian pembuatan 'pabrik' Blue Energy sebelum bahan bakar itu diperkenalkan dan diproduksi secara massal kepada masyarakat.
"Tidak benar saya menipu. Semuanya masih dalam proses penyelesaian. Nanti, kalau tidak percaya, masyarakat bisa datang ke sini laboratorium Joko dengan membawa airnya dan akan dibuktikan bagaimana air itu bisa menjadi Blue Energy," kata Joko.
Seandainya memang benar Blue Energy itu bisa dibuktikan secara ilmiah keberadaannya, tentu akan sangat menguntungkan bagi bangsa ini, yang sekarang dililit oleh masalah energi. Apalagi, air merupakan sumber daya yang sangat melimpah.
Sayangnya, sampai sekarang, Joko masih merahasiakan proses air itu bisa diubah menjadi Blue Energy. Dia beralasan khawatir ramuannya jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab yang justru hanya mengomersialkan temuannya yang dinilai melenceng dari tujuan semula, untuk kesejahteraan bangsa.
Namun, kerahasiaan itulah yang justru menjadi pemicu spekulasi terutama di kalangan masyarakat yang mengerti energi.
Bahkan, Menristek yang pada saat peluncuran pertama kali Blue Energy sempat menonton dari dekat seremonial itu lantas mengubah haluan dan 'berani' mengatakan pada 'bos'-nya, "Blue Energy tidak lebih dari bahan bakar sintetis yang setara dengan solar yang proses pembuatannya justru mahal dan tidak ekonomis. Kecuali kalau ada campur tangan magic...saya tidak tahu...."
Berdasarkan hasil analisis di lingkungan ristek, Blue Energy yang berbahan bakar air dan membutuhkan proses elektrolisa untuk memisahkan hydrogen sebelum dilakukan fusi dengan karbon untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon [senyawa minyak], membutuhkan biaya US$40 per mmBtu.
Padahal, harga produk BBM dengan patokan harga minyak mentah US$130 per barel hanya setara dengan US$25 per mmBtu.
Selain itu, penelitian Ristek juga menunjukkan gas buangan dari Blue Energy hampir mirip dengan solar bahkan lebih buruk dibandingkan dengan Pertadex. "Jadi Blue Energy bukan sesuatu yang aneh, tapi hanya varian dari hidrokarbon," terang Kusmayanto.
Belum tuntas kontroversi Blue Energy, kini muncul istilah baru yang disematkan, lagi-lagi untuk air. Brown Energy demikian disebutkan oleh Poempida Hidayatullah dan Futung Mustari.
Bedanya, bila Blue Energy diistilahkan untuk air yang dikonversi menjadi bahan bakar secara langsung, Brown Energy diistilahkan untuk air murni yang bisa menghemat penggunaan bahan bakar pada mobil diesel ataupun premium.
Penghematan yang bisa dilakukan tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai antara 10%-100% terhadap bahan bakar, baik premium maupun solar, tergantung berapa perangkat Brown Energy yang digunakan.
Menurut Mustari, perangkat ini sangat sesuai untuk mobil bermesin V8 dan telah digunakan secara luas di Eropa dan Amerika sejak 2006.
Brown Energy merupakan perangkat tambahan pada bagian mesin mobil berupa tabung kaca berpenutup baja nirkarat yang di dalamnya diisi air murni.
Terhubung dengan penutup baja di atasnya, menjulur akrilik yang dililit oleh kumparan baja nirkarat yang terpuntir. Pada penutup baja itu tertempel beberapa bagian penting, yaitu katup pengaman dan sebuah valve.
Cara kerja Brown Energy sepintas lalu terlihat seperti cara pembuatan Blue Energy, di mana di dalam Brown Energy yang telah dipasok listrik dari aki mobil tersebut akan membuat reaksi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen.
Hidrogen itu dalam posisi siap sedia. Bila dibutuhkan oleh mesin hydrogen dalam bentuk gas akan mengalir melalui valve yang terhubung pipa vakum ke dalam mesin pembakaran.
Di dalam mesin itu, hidrogen akan menjalankan perannya sebagai reaktan pada reaksi fusi untuk mengikat karbon. Peran hidrogen inilah yang membuat bahan bakar menjadi hemat. Hidrogen yang tidak terpakai akan mencair kembali.
"Tidak berbahaya, sejauh tidak ada pemicu, misal rokok," jelas Mustari.
Brown Energy diakui Poempida bukan hal yang baru, melainkan dilihami oleh penemuan oleh Stainley M. pada 1920 yang raib tidak diketahui rimbanya setelah menghasilkan temuan ini. Konon raibnya Stainley dipicu oleh kekhawatiran penemuan itu akan merusak eksistensi pelaku industri migas kala itu.
Uniknya, barang yang katanya bisa dibuat dengan tangan dan siapa pun bisa membuatnya dengan hanya merogoh kocek Rp400.000 per set itu datang melalui seremoni mirip Blue Energy, sekalipun berbeda orang.
Bila Blue Energy diluncurkan dengan tour yang dilepas oleh Presiden, Brown Energy diluncurkan dalam tour yang dilepas oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso, yang kini paling keras menyuarakan perubahan haluan posisi Partai Golkar terhadap pemerintah.
Belum Jelas
Brown Energy ini datang untuk menggantikan Blue Energy yang belum jelas itu.
"Saya akan dorong melalui FPG di Komisi VII ke Menteri ESDM untuk dimanfaatkan bagi bangsa ini secara masif, dengan tingkat keamanan lebih tinggi," kata Priyo yang mengakui awal ungkapannya itu bagian nada politis.
Maklum, selain pribadi Presiden yang melekatkan nama Blue Energy untuk banyugeni itu, nama Blue konon dikait-kaitkan dengan warna bendera Partai Demokrat yang dominan biru. Lalu, kalau memang politis kenapa tidak disebut Yellow Energy....?
Apa pun sebutan warna bagi energi alternatif dan inovatif yang kemungkinan kelak akan bermunculan, memang patut dihargai.
Namun, hendaknya temuan atau inovasi itu benar-benar bisa diimplementasikan untuk kemaslahatan bangsa, rasional, tidak misterius, dan yang tidak kalah penting jangan sekadar seremoni apalagi diembel-embeli dengan selera politik yang tajam... (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)
Tidak tanggung-tanggung jika benar itu penipuan, korbannya adalah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut melepas tour mobil berbahan bakar Blue Energy ini ke acara United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember tahun lalu.
Bahkan, kala itu SBY didampingi staf khusus presiden Heru Lelono, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Menteri Negara Ristek Kusmayanto Kadiman, menimang-nimang Blue Energy yang dikemas dalam botol.
Setelah dikabarkan menipu Presiden, dan beberapa 'objek penipuan' lainnya terkait proyek Pembangkit Listrik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Joko Suprapto angkat bicara dan membantah secara keras.
Alasannya, dia masih dalam proses penyelesaian pembuatan 'pabrik' Blue Energy sebelum bahan bakar itu diperkenalkan dan diproduksi secara massal kepada masyarakat.
"Tidak benar saya menipu. Semuanya masih dalam proses penyelesaian. Nanti, kalau tidak percaya, masyarakat bisa datang ke sini laboratorium Joko dengan membawa airnya dan akan dibuktikan bagaimana air itu bisa menjadi Blue Energy," kata Joko.
Seandainya memang benar Blue Energy itu bisa dibuktikan secara ilmiah keberadaannya, tentu akan sangat menguntungkan bagi bangsa ini, yang sekarang dililit oleh masalah energi. Apalagi, air merupakan sumber daya yang sangat melimpah.
Sayangnya, sampai sekarang, Joko masih merahasiakan proses air itu bisa diubah menjadi Blue Energy. Dia beralasan khawatir ramuannya jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab yang justru hanya mengomersialkan temuannya yang dinilai melenceng dari tujuan semula, untuk kesejahteraan bangsa.
Namun, kerahasiaan itulah yang justru menjadi pemicu spekulasi terutama di kalangan masyarakat yang mengerti energi.
Bahkan, Menristek yang pada saat peluncuran pertama kali Blue Energy sempat menonton dari dekat seremonial itu lantas mengubah haluan dan 'berani' mengatakan pada 'bos'-nya, "Blue Energy tidak lebih dari bahan bakar sintetis yang setara dengan solar yang proses pembuatannya justru mahal dan tidak ekonomis. Kecuali kalau ada campur tangan magic...saya tidak tahu...."
Berdasarkan hasil analisis di lingkungan ristek, Blue Energy yang berbahan bakar air dan membutuhkan proses elektrolisa untuk memisahkan hydrogen sebelum dilakukan fusi dengan karbon untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon [senyawa minyak], membutuhkan biaya US$40 per mmBtu.
Padahal, harga produk BBM dengan patokan harga minyak mentah US$130 per barel hanya setara dengan US$25 per mmBtu.
Selain itu, penelitian Ristek juga menunjukkan gas buangan dari Blue Energy hampir mirip dengan solar bahkan lebih buruk dibandingkan dengan Pertadex. "Jadi Blue Energy bukan sesuatu yang aneh, tapi hanya varian dari hidrokarbon," terang Kusmayanto.
Belum tuntas kontroversi Blue Energy, kini muncul istilah baru yang disematkan, lagi-lagi untuk air. Brown Energy demikian disebutkan oleh Poempida Hidayatullah dan Futung Mustari.
Bedanya, bila Blue Energy diistilahkan untuk air yang dikonversi menjadi bahan bakar secara langsung, Brown Energy diistilahkan untuk air murni yang bisa menghemat penggunaan bahan bakar pada mobil diesel ataupun premium.
Penghematan yang bisa dilakukan tidak tanggung-tanggung, bisa mencapai antara 10%-100% terhadap bahan bakar, baik premium maupun solar, tergantung berapa perangkat Brown Energy yang digunakan.
Menurut Mustari, perangkat ini sangat sesuai untuk mobil bermesin V8 dan telah digunakan secara luas di Eropa dan Amerika sejak 2006.
Brown Energy merupakan perangkat tambahan pada bagian mesin mobil berupa tabung kaca berpenutup baja nirkarat yang di dalamnya diisi air murni.
Terhubung dengan penutup baja di atasnya, menjulur akrilik yang dililit oleh kumparan baja nirkarat yang terpuntir. Pada penutup baja itu tertempel beberapa bagian penting, yaitu katup pengaman dan sebuah valve.
Cara kerja Brown Energy sepintas lalu terlihat seperti cara pembuatan Blue Energy, di mana di dalam Brown Energy yang telah dipasok listrik dari aki mobil tersebut akan membuat reaksi elektrolisis yang menghasilkan hidrogen.
Hidrogen itu dalam posisi siap sedia. Bila dibutuhkan oleh mesin hydrogen dalam bentuk gas akan mengalir melalui valve yang terhubung pipa vakum ke dalam mesin pembakaran.
Di dalam mesin itu, hidrogen akan menjalankan perannya sebagai reaktan pada reaksi fusi untuk mengikat karbon. Peran hidrogen inilah yang membuat bahan bakar menjadi hemat. Hidrogen yang tidak terpakai akan mencair kembali.
"Tidak berbahaya, sejauh tidak ada pemicu, misal rokok," jelas Mustari.
Brown Energy diakui Poempida bukan hal yang baru, melainkan dilihami oleh penemuan oleh Stainley M. pada 1920 yang raib tidak diketahui rimbanya setelah menghasilkan temuan ini. Konon raibnya Stainley dipicu oleh kekhawatiran penemuan itu akan merusak eksistensi pelaku industri migas kala itu.
Uniknya, barang yang katanya bisa dibuat dengan tangan dan siapa pun bisa membuatnya dengan hanya merogoh kocek Rp400.000 per set itu datang melalui seremoni mirip Blue Energy, sekalipun berbeda orang.
Bila Blue Energy diluncurkan dengan tour yang dilepas oleh Presiden, Brown Energy diluncurkan dalam tour yang dilepas oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso, yang kini paling keras menyuarakan perubahan haluan posisi Partai Golkar terhadap pemerintah.
Belum Jelas
Brown Energy ini datang untuk menggantikan Blue Energy yang belum jelas itu.
"Saya akan dorong melalui FPG di Komisi VII ke Menteri ESDM untuk dimanfaatkan bagi bangsa ini secara masif, dengan tingkat keamanan lebih tinggi," kata Priyo yang mengakui awal ungkapannya itu bagian nada politis.
Maklum, selain pribadi Presiden yang melekatkan nama Blue Energy untuk banyugeni itu, nama Blue konon dikait-kaitkan dengan warna bendera Partai Demokrat yang dominan biru. Lalu, kalau memang politis kenapa tidak disebut Yellow Energy....?
Apa pun sebutan warna bagi energi alternatif dan inovatif yang kemungkinan kelak akan bermunculan, memang patut dihargai.
Namun, hendaknya temuan atau inovasi itu benar-benar bisa diimplementasikan untuk kemaslahatan bangsa, rasional, tidak misterius, dan yang tidak kalah penting jangan sekadar seremoni apalagi diembel-embeli dengan selera politik yang tajam... (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)
1 comment:
artikel anda :
http://energi.infogue.com/
http://energi.infogue.com/habis_blue_energy_terbitlah_brown_energy
jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!
Post a Comment