
SELAMAT BERJUANG BARRY
la bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, namun dielu-elukan sebagai penjelmaan
John Fitzgerald Kennedy.
(Budiarto Shambazy, Majalah Rolling Stones, April 2008)
John Fitzgerald Kennedy.
(Budiarto Shambazy, Majalah Rolling Stones, April 2008)
Dalam berbagai literatur, budaya pop tahun 197O-an disebut dengan "the me decade" karena semuanya"serba saya." Jika generasi "the baby boomer” memuja gaya hidup komunalisme ala hippie, kami "the post baby boomers" lebih nekat dan lebih egois. Berkelahi pun kami satu lawan satu (duel). Atau mencuri mobil orang tua yang dipakai ngcbut saat subuh, praktik seks bebas, atau melakukan eksperimentasi narkoba hingga tak sedikit yang mati konyol karena overdosis
.
"The post baby boomers" melakoni dekade 1970 yang mengalami puncak dekadensi moral ala Jakarta. Kehidupan di Ihukota amat permisif. Judi dilegalkan, klab malam dan panti pijat bertebaran, Bina Ria jadi pusat maksiat. Korupsi merajalela berkat bisnis "Ali-Baba" (kongkalikong cukong dan pejabat), begitu pula skandal antara "oom seriang" dan "tante girang"yangbagai tak habis habisnya.
Usia saya hanya terpaut beberapa tahun di atas Barack Hussein Obama. Barry, begitu ia dipanggil, sekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Saya baru masuk SMP Negeri 1 di Jalan Cikini Raya dan, saking bandelnya, dipindahkan orang tua ke SMP PSKD di Jalan Sam Ratulangi. Jakarta Pusat, khususnya daerah Menteng, sentra kultural remaja terpenting Jakarta yang kala itu masih berpenduduk di bawah lima juta jiwa. Kami kelas menengah yang relatif cepat menyesuaikan diri dengan budaya Barat.
Saya tak pernah mengenal Barry, baru tiga tahun kenal dia lewat perjumpaan kebetulan. Akhir 2006, Ufuk Press menghubungi saya menulis kata pengantar buku kedua Barry, The Audacity of Hope (2006). Akhir Fcbruari 2008, mereka kembali menghubungi saya untuk menulis Kata Pengantar buku Barry yang pertama, Dreams From My Father (1995).
Di kedua buku itu, Barry banyak menyinggung periode dia tinggal di Jakarta tahun 1968-1971. "Ia termasuk anak yang hiperaktif. Kami tak berhenti bermain kelereng, tak gebok, tak lari, dan gambar SD Besuki. Waktu tiga bulan pertama, Barry anak alim. Tctapi, setelah itu nakal. Tmgkat kebandelan kami masih wajar," ujar Rully, yang kini seorang fotografer profesional.
Bagi Barry dan Rully — juga saya — salah satu sumber kehidupan remaja Jakarta tentu TVRI. Saat itu ada sejumlah film serial yang populer, seperti Voyage to the Bottom of the Sea, I Spy, The Man from UNCLE, Kimba atau Shintaro. "Saya ingat kalau bermain detektif ala film serial I Spy, Barry memilih peranan aktor kulit hitam di film itu, Bill Cosby. Padahal, Barry itu tak terlalu hitam karena ibunya bule," kenang Rully
.
Berbicara tentang ibunya, suatu kali Ann Dunham datang ke SD Besuki untuk memrotes guru siapa yang usil melempar kepala anaknya dengan batu sampai bocor. "Barry ikut Pramuka bersarna saya, kami baru tingkat Siaga Mungkin karena nakal, dia dihukum dengan cara diikat di pohon. Ya, biasalah kami sering melawan kakak-kakak Pramuka," kata Rully tertawa.
Apa bakat Barry yang menonjol? "la senang menggambar. Saya suka bawa komik-komik impor ke kelas, Barry suka meniru gambar Superman, Batman, atau Spiderman. Kami sering bertukar koleksi kornik, ia suka membaca komik yang waktu itu terkenal, Wiro Si Anak Rimba. Pernah dia disuruh guru nyanyi lagu untuk mengenang pahlawan, “Syukur” Wah, lucu banget," kenang Rully lagi
Ketika. terbit, Hope bertengger selama sembilan pekan di Daftar Buku Terlaris. Bangsa Amerika Serikat tak pcrnah bosan didongengi kisah “Obambi” ini. Film Bambi bercerita tentang seeker anak rusa lugu yang berkenalan dengan kejamnya rimba belantara. Barry adalah calon presiden terfavorit Demokrat, meskipun dianggap "mentah" alias kurang bcrpengalaman.
Ibu Barry asal Kansas, ayahnya orang Kenya. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil, Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa pengacara top lulusan Harvard. Setiap orang terkesiap mendengar ia menyebut namanya, Barry Hussein Obama (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden), sambil mengulurkan tangan saat kampanye jadi anggota Senat di Springfield, Illinois.
Hope ibarat skripsi bcrpredikat summa. cum laude yang meluluskan Barry sebagai pemimpin masa depan. la terpilih sebagai Senator Negara Bagian Illinois setelah meniti karier dari bawah. la bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, namun dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.
"Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika. Dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika. Yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain visi Amerika. Sebagai lelaki hitam dan pcrempuan putih yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher... saya tak biasa setia pada sebuah ras saja”
Di Hope. Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.
Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam ayam peliharaan, dan didekat jendela banyak jemuran bergelantungan. “Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk ke sekolah biasa dan bermaij dengan anak anak jongos, tukang jahit dfan pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini sudah tak sama lagi “Indonesia terasa jauh dibandingkan 3o-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,’ tulisnya.
Di buku Dreams, ia banyak bercerita tentang ayah kandungnya University of Hawaii (UH) yang menjadi anggota Phi Beta Kappa — komunitas akademis elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ia diterima di Harvard dan pulang meninggalkan Barry kecil untuk mengabdi kepada negaranya. Ayahnya dari suku Luo yang lahir di Alego, menikahi ibu Barry di Honolulu pada tahun 1959 saat miscegenation (pernikahan antar ras) yang banyak dilarangdi banyak negara bagian AS
la penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar econometri dengan menggaet terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan jadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa. Ia senator kulit hitam yang ketiga dalam sejarah AS
.
"The post baby boomers" melakoni dekade 1970 yang mengalami puncak dekadensi moral ala Jakarta. Kehidupan di Ihukota amat permisif. Judi dilegalkan, klab malam dan panti pijat bertebaran, Bina Ria jadi pusat maksiat. Korupsi merajalela berkat bisnis "Ali-Baba" (kongkalikong cukong dan pejabat), begitu pula skandal antara "oom seriang" dan "tante girang"yangbagai tak habis habisnya.
Usia saya hanya terpaut beberapa tahun di atas Barack Hussein Obama. Barry, begitu ia dipanggil, sekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Saya baru masuk SMP Negeri 1 di Jalan Cikini Raya dan, saking bandelnya, dipindahkan orang tua ke SMP PSKD di Jalan Sam Ratulangi. Jakarta Pusat, khususnya daerah Menteng, sentra kultural remaja terpenting Jakarta yang kala itu masih berpenduduk di bawah lima juta jiwa. Kami kelas menengah yang relatif cepat menyesuaikan diri dengan budaya Barat.
Saya tak pernah mengenal Barry, baru tiga tahun kenal dia lewat perjumpaan kebetulan. Akhir 2006, Ufuk Press menghubungi saya menulis kata pengantar buku kedua Barry, The Audacity of Hope (2006). Akhir Fcbruari 2008, mereka kembali menghubungi saya untuk menulis Kata Pengantar buku Barry yang pertama, Dreams From My Father (1995).
Di kedua buku itu, Barry banyak menyinggung periode dia tinggal di Jakarta tahun 1968-1971. "Ia termasuk anak yang hiperaktif. Kami tak berhenti bermain kelereng, tak gebok, tak lari, dan gambar SD Besuki. Waktu tiga bulan pertama, Barry anak alim. Tctapi, setelah itu nakal. Tmgkat kebandelan kami masih wajar," ujar Rully, yang kini seorang fotografer profesional.
Bagi Barry dan Rully — juga saya — salah satu sumber kehidupan remaja Jakarta tentu TVRI. Saat itu ada sejumlah film serial yang populer, seperti Voyage to the Bottom of the Sea, I Spy, The Man from UNCLE, Kimba atau Shintaro. "Saya ingat kalau bermain detektif ala film serial I Spy, Barry memilih peranan aktor kulit hitam di film itu, Bill Cosby. Padahal, Barry itu tak terlalu hitam karena ibunya bule," kenang Rully
.
Berbicara tentang ibunya, suatu kali Ann Dunham datang ke SD Besuki untuk memrotes guru siapa yang usil melempar kepala anaknya dengan batu sampai bocor. "Barry ikut Pramuka bersarna saya, kami baru tingkat Siaga Mungkin karena nakal, dia dihukum dengan cara diikat di pohon. Ya, biasalah kami sering melawan kakak-kakak Pramuka," kata Rully tertawa.
Apa bakat Barry yang menonjol? "la senang menggambar. Saya suka bawa komik-komik impor ke kelas, Barry suka meniru gambar Superman, Batman, atau Spiderman. Kami sering bertukar koleksi kornik, ia suka membaca komik yang waktu itu terkenal, Wiro Si Anak Rimba. Pernah dia disuruh guru nyanyi lagu untuk mengenang pahlawan, “Syukur” Wah, lucu banget," kenang Rully lagi
Ketika. terbit, Hope bertengger selama sembilan pekan di Daftar Buku Terlaris. Bangsa Amerika Serikat tak pcrnah bosan didongengi kisah “Obambi” ini. Film Bambi bercerita tentang seeker anak rusa lugu yang berkenalan dengan kejamnya rimba belantara. Barry adalah calon presiden terfavorit Demokrat, meskipun dianggap "mentah" alias kurang bcrpengalaman.
Ibu Barry asal Kansas, ayahnya orang Kenya. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil, Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa pengacara top lulusan Harvard. Setiap orang terkesiap mendengar ia menyebut namanya, Barry Hussein Obama (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden), sambil mengulurkan tangan saat kampanye jadi anggota Senat di Springfield, Illinois.
Hope ibarat skripsi bcrpredikat summa. cum laude yang meluluskan Barry sebagai pemimpin masa depan. la terpilih sebagai Senator Negara Bagian Illinois setelah meniti karier dari bawah. la bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, namun dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.
"Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika. Dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika. Yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain visi Amerika. Sebagai lelaki hitam dan pcrempuan putih yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher... saya tak biasa setia pada sebuah ras saja”
Di Hope. Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.
Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam ayam peliharaan, dan didekat jendela banyak jemuran bergelantungan. “Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk ke sekolah biasa dan bermaij dengan anak anak jongos, tukang jahit dfan pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini sudah tak sama lagi “Indonesia terasa jauh dibandingkan 3o-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,’ tulisnya.
Di buku Dreams, ia banyak bercerita tentang ayah kandungnya University of Hawaii (UH) yang menjadi anggota Phi Beta Kappa — komunitas akademis elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ia diterima di Harvard dan pulang meninggalkan Barry kecil untuk mengabdi kepada negaranya. Ayahnya dari suku Luo yang lahir di Alego, menikahi ibu Barry di Honolulu pada tahun 1959 saat miscegenation (pernikahan antar ras) yang banyak dilarangdi banyak negara bagian AS
la penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar econometri dengan menggaet terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan jadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa. Ia senator kulit hitam yang ketiga dalam sejarah AS
No comments:
Post a Comment