Thursday, April 03, 2008



KEBIJAKAN NEOLIBERAL LIMA PRESIDEN INDONESIA

Satu hal yang pasti, ada solusi dan pencerahan yang ditawarkan sang penulis kepada kita dengan cara memberi gambaran apa adanya tentang Tanah Air tercinta. Setidaknya agar muncul ide-ide kreatif untuk menyelesaikannya.
(Epung Saepudin, Media Indonesia, 29-3-2008)


Sudah lima presiden memimpin Indonesia. Tidak satu pun yang mampu mengantarkan negeri ini bermartabat baik secara ekonomi maupun politik. Setiap presiden, dalam pandangan penulis buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, selalu saja tunduk pada mekanisme Washington. Konsensus yang dikomandoi IMF yang berwatak neoli-beral. Akibatnya, setiap kebijakan yang ada selalu meminggirkan masyarakat yang justru telah memilihnya. Itulah potret sesungguhnya dari karakter presiden di Indonesia terutama Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun lamanya.

Saat membaca buku ini, terasa ada kegelisahan yang mendalam tentang peranan dan ketangguhan negara serta korporasi dalam menghadapi gejolak krisis baik pada tahap awal maupun pascakrisis. Berpijak dari keadaan itu buku ini memetakan analisis mengapa Indonesia gagal tinggal landas setelah 32 tahun Orde Baru. Berbagai kelemahan struktural dan penyimpangan prioritas masa Orde Baru dianalisis dengan tajam dan menarik secara jumalistik.

Penulis memotret semua perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam kurun 1997-2007. Menurut penulis buku, di tengah pertumbuhan ekonomi yang lumayan semasa Orde Baru, rupanya berbagai ketimpangan dan kerawanan di bidang ekonomi maupun sosial terjadi. Implikasinya polarisasi Indonesia begitu terasa.

Transisi Indonesia

Transisi dari sistem otoriter ke sistem demokrasi sesungguhnya tidak membawa manfaat pada kemajuan negara maupun kesejahteraan rakyat. Lihat, proses pemilu maupun' pilkada diwarnai dan didominasi oleh politik uang. Menurut penulis, jika kecenderungan ini terus berlanjut, akan muncul pertanyaan, apakah demokrasi ada manfaatnya untuk rakyat kebanyakan? Seperti yang dikatakan penulis buku, matinya ideologi dalam proses politik Indonesia merupakan salah satu penyebab utama dari komersialisasi dan dominasi politik uang dalam proses demokrasi di Indonesia
.
Dalam kondisi dominasi pragmatisme dan politik uang yang begitu terasa, Indonesia sangat mudah sekali dipengaruhi oleh pandangan ekonomi ortodoks dan neoliberal yang mengecilkan peranan negara dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Negara hanya memperjuangkan kepentingan elite, sedangkan rakyat dilepaskan kepada belas kasihan mekanisme pasar. Misalnya, berbagai subsidi di dalam bidang pendidikan dan kesehatan dihapuskan tanpa melihat perbedaan kemampuan ekonomis dari masyarakat. Padahal, di negara kapitalistik sekalipun, seperti di Eropa, tetap ada subsidi maupun bantuan keuangan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat yang tidak mampu.

Penulis mengajukan pertanyaan penting, mengapa Indonesia batal tinggal landas ? Pada 1967, negara-negara utama di Asia nyaris memiliki posisi yang hampir sama secara sosial dan ekonomi. Pada waktu itu, GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan China nyaris sama yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP per kapita negara-negara tersebut pada 2004, Indonesia mencapai sekitar US$ 1.100, Malaysia US$4.520, Korea Selatan US$14.000, Thailand US$2.490, Taiwan US$14.590, dan China US$1.500.

Mafia Berkeley

Kekuasaan dan peranan Mafia Berkeley nyaris 40 tahun di Indonesia tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dan mewariskan potensi sebagai salah satu negara gagal (failed state) di Asia. Penulis menunjukkan penyebab situasi tersebut adalah kebijakan Orde Baru dalam bidang ekonomi Indonesia terutama didukung oleh eksploitasi sumber daya alam (minyak bumi, hutan) dan peningkatan pinjaman luar negeri. Sementara itu, kemajuan ekonomi negara Asia Timur dan Tenggara lainnya terutama didukung oleh industrialisasi, ekspor, peningkatan produktivitas, dan daya saing nasional Secara keseluruhan, Mafia Berkeley telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia. Satu hal yang pasti, ada solusi dan pencerahan yang ditawarkan sang penulis kepada kita dengan cara memberi gambaran apa adanya tentang Tanah Air tercinta. Setidaknya agar muncul ide-ide kreatif untuk menyelesaikannya.

Walaupun didukung rezim otoriter selama nyaris 40 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh. Di bawah pengaruh dan kekuasaan Mafia Berkeley, utang yang besar dan habisnya kekayaan alam hutan yang rusak ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$1.100 dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.

Kegagalan itu terjadi karena strategi dan kebijakan ekonomi politik akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi alias kepanjangan tangan dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Konsensus yang digawangi IMF. Situasi tersebut juga diperparah dengan tidak adanya perubahan dalam arah kepemimpinan nasional di tingkatan presiden. Semua presiden yang ada masih tunduk pada kepentingan pasar yang bercorak neoliberal.

Presiden pascareformasi

Strategi pemulihan ekonomi yang diterapkan pemerintahan Indonesia pasca Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono semuanya merupakan strategi yang mengorbankan kelompok masyarakat yang lebih luas demi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang lebih kecil, tapi menguasai perekonomian Indonesia. Berbagai kebijakan memang terdengar asing bagi masyarakat awam, namun merekalah yang paling terkena imbasnya dengan pemotongan tingkat kesejahteraan orang miskin melalui pengurangan subsidi, pengurangan nilai upah ril, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, serta penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan buruh. Sementara itu, untuk kelompok yang lebih kecil tersebut, kita dapati pemerintah membayari utang mereka, bahkan sampai pada tahap write¬off (penghapusan utang) dan R&D (release and discharge, pengampunan utang), masih ditambah adanya pemberian fasilitas pemotongan pajak dan to holiday. Sebuah ketidakadilan diperlihatkan secara nyata oleh pemerintah.

Buku ini merupakan hasil penelusuran jurnalistik selama 10 tahun sekaligus analisis kitis yang komprehensif mengenai setiap peristiwa yang berlangsung selama itu. Buku ini memang tidak meny ajikan sesuatu yang manis tentang republik. Buku setebal 442 halaman ini juga tentu tidak ditujukan untuk menyenangkan setiap orang seperti cerita pengantar tidur. Di dalamnya memuat rekaman hitam bersejarah yang boleh jadi belum pernah terungkap di media. Catatan yang tajam dan paling komprehensif yang membedah kegagalan demi kegagalan presiden kita dalam membawa Indonesia tinggal landas. Satu hal yang pasti, ada solusi dan pencerahan yang ditawarkan sang penulis kepada kita dengan cara memberi gambaran apa adanya tentang Tanah Air tercinta. Setidaknya agar munculide-ide kreatif untuk menyelesaikannya.


Epung Saepudin,
pustakawan Pustaka Transformasi Jakarta



No comments:

Twitter Facebook

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes