
Judul : Blindness, Ketika Negeri Tanpa NamaDilanda Kebutaan Massal
Penulis : Jose Saramago
Tebal : 448 halaman
Penerbit : Ufuk Press , Jakarta
Terbit : Maret2007
"Saramago hendak memotret keadaan manusia di kolong langit ini yang dilanda buta nurani. Mayoritas manusia saat ini mementingkan diri sendiri, dan hanya sedikit saja yang peduli orang lain"
(Indopos)
Para pengidap kebutaan yang dikarantina (interniran) itu mencapai 300 jiwa. Mereka hidup nyaris tanpa fasilitas. Jumlah ranjang tak mencukupi. Pasokan makanan sangat langka dan datang tidak teratur. Instalasi kebersihan sangat menyedihkan sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membersihkan diri dan membuang kotoran secara wajar. Akibatnya, orang-orang yang dikarantina itu hidup tak ubahnya binatang
Suatu hari di sebuah kota tanpa nama di negeri anonim, seorang pria mendadak menghebohkan para pengemudi kendaraan bermotor. Mobil yang dia setir mogok sehingga kemacetan tak terbendung. Klakson mobil bersahut-sahutan seolah membentak si pengemudi agar mobil tersebut segera berjalan.Tapi, mobil itu tetap di tempat. Pria nahas yang menyetir mobil itu mengaku kebutaan telah menyergapnya sehingga dia tak mampu lagi melajukan kendaraan.
Yang aneh, pria matang berumur 38 tahun itu tak mendapati di sekelilingnya sebagai kegelapan—sebagaimana galibnya kebutaan. Pria ini menderita"butaputih"! "Kulihat segalanya putih," ujar pria ini merangkum penyakitnya yang di luar kebiasaan
.
Begitulah Jose Saramago membuka novelnya, Blindness. Sebuah karya yang mengantar dia meraih The Nobel Prize in Literature 1998. Sastrawan yang lahir di tepi Sungai Alomanda, ratusan kilometer dari Lisbon, Portugal, ini langsung menghadirkan absurditas sejak awal kepada pembaca Blindness. Cara ini "memaksa" pembaca, melahap lembar demi lembar hingga tuntas. Dalam novel ini, Saramago memelihara absurditas (baca: keganjilan atau hal yang mustahil) itu hingga akhir.
Karena ada indikasi bahwa penyakit ini menular, maka orang-orang buta dan mereka yang diduga telah tertular dikarantina di sebuah rumah sakit jiwa yang sudah tidak terpakai. Tentara mengawal tempat ini dengan ketat agar tak seorang pun bisa keluar.
Para pengidap kebutaan yang dikarantina (interniran) itu mencapai 300 jiwa. Mereka hidup nyaris tanpa fasilitas. Jumlah ranjang tak mencukupi. Pasokan makanan sangat langka dan datang tidak teratur. Instalasi kebersihan sangat menyedihkan sehingga tidak memungkinkan mereka untuk membersihkan diri dan membuang kotoran secara wajar. Akibatnya, orang-orang yang dikarantina itu hidup tak ubahnya binatang. Saling berburu dan berebut makanan, membuang kotoran seenaknya, bahkan—merasa tak ada yang melihat—berhubungan seks di sembarang tempat.
Siapa sangka di tengah-tengah wabah kebutaan ini masih ada satu orang yang dapat mempertahankan penglihatanya. Dia, seorang perempuan, istri dokter mata yang sejak awal berpura-pura buta demi bisa menemani suaminya di tempat karantina. Dialah yang selama ini—tanpa disadari oleh interniran lain kecuali suaminya—telah dengan sekuat tenaga memudahkan hidup mereka. Perempuan ini adalah jenis pemimpin sejati yang beker ja tanpa lencana. Perempuan ini jua yang secara tak langsung me-nuntun seluruh tokoh utama lain dalam novel ini mencapai transformasi diri hingga penglihatan mereka semua kembali.
Cerita Saramago adalah sebuah kisah alegoris. Saramago hendak memotret keadaan manusia di kolong langit ini yang dilanda buta nurani. Mayoritas manusia saat ini mementingkan diri sendiri, dan hanya sedikit saja yang peduli orang lain. "Sesungguhnya belum lahir manusia yang tak punya kulit kedua yang kita sebut egoisme. Kulit yang tahan lebih lama dibanding kulit satunya lagi yang begitu mudahnya berdarah," sergah Saramago, (hal 233-234).
Dalam kondisi demikian, sesuatu yang salah—secara moral dan etis—terlihat seperti benar (diceritakan Saramago sebagai putih dengan kilau-kemilau cahaya). Sesuatu terlihat baik, padahal buruk. Dunia manusia dipenuhi fakta dan makna yang kerap terbolak-balik. Ketika menerima Nobel Sas-tra, 7 Desember 1998, Saramago berkata jujur, "...(saya) menulis Blindness untuk mengingatkan mereka yang mungkin membacanya bahwa kita menodai akal sehat saat kita menghina kehidupan, bahwa martabat manusia dilecehkan setiap hari oleh kuatnya dunia kita, bahwa kebohongan universal telah menggantikan kebenaran plural, bahwa manusia berhenti menghormati dirinya sendiri ketika dia kehilangan rasa hormat terhadap sesamanya."(*)
Eka Kurnia Hikmat
Beker ja di Lazuardi Global Islamic School Cinere,Depok
No comments:
Post a Comment